Tangerang Selatan, Suarabersama – Program Sekolah Rakyat yang baru berjalan sebulan di Kota Tangerang Selatan sudah menghadapi tantangan. Dari total 150 siswa yang diterima, sembilan siswa memilih untuk mengundurkan diri dari SRMA 33 Tangsel.
Kepala SRMA 33 Tangsel, Gina Intana Dewi, menjelaskan bahwa alasan utama pengunduran diri adalah sulitnya para siswa beradaptasi dengan sistem kedisiplinan yang ketat di sekolah berasrama tersebut. “Beberapa siswa tidak terbiasa bangun subuh, menjalani jadwal shalat Subuh, olahraga pagi, hingga kegiatan rutin lainnya. Mereka merasa terbebani,” ujarnya.
Selain itu, faktor psikologis juga turut memengaruhi. Banyak siswa yang berasal dari keluarga dengan kondisi sosial rentan, bahkan broken home, sehingga membawa beban tersendiri ketika harus tinggal jauh dari keluarga. Homesickness atau rasa kangen rumah juga membuat sejumlah siswa tak mampu bertahan.
Direktur Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Kementerian Sosial, Suratna, menegaskan bahwa pengunduran diri ini menjadi catatan penting bagi pemerintah. Menurutnya, masa adaptasi di sekolah berasrama semestinya diperpanjang agar siswa lebih siap menghadapi perubahan pola hidup. “Bukan berarti program ini gagal, tetapi perlu penyesuaian agar anak-anak bisa lebih kuat secara mental,” katanya.
Sementara itu, Komisi VIII DPR RI meminta adanya evaluasi terkait sistem penerimaan dan pembinaan di Sekolah Rakyat. Usulan yang muncul adalah memperpanjang masa pengenalan lingkungan dari dua minggu menjadi hingga tiga bulan, sehingga anak-anak memiliki waktu lebih panjang untuk menyesuaikan diri.
Meski ada siswa yang mundur, pihak sekolah tetap melanjutkan proses belajar mengajar dengan jumlah siswa yang tersisa. SRMA 33 Tangsel menegaskan komitmennya untuk memberikan pendidikan dan pembinaan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, sesuai misi utama pendirian Sekolah Rakyat.
