Jakarta, Suarabersama.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menarik perhatian dunia dengan kebijakan perdagangan terbarunya. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui platform Truth Social, Senin (5/5), Trump mengumumkan rencana pemberlakuan tarif sebesar 100 persen terhadap seluruh film asing yang diimpor ke Amerika Serikat.
Trump berdalih, kebijakan ini diambil untuk menyelamatkan industri film dalam negeri yang ia klaim tengah mengalami “kemunduran yang sangat cepat.” Ia menuding sejumlah negara memberikan insentif kepada rumah produksi besar agar memindahkan kegiatan produksi dari Amerika ke luar negeri, yang menurutnya merupakan ancaman terhadap keamanan nasional.
“Ini adalah pesan dan propaganda!” tulis Trump. “KAMI INGIN FILM-FILM YANG DIBUAT DI AMERIKA, LAGI!”
Trump menyatakan telah memberikan wewenang kepada Perwakilan Dagang AS untuk segera memulai proses penerapan tarif tersebut. Jika diterapkan, film asing dengan biaya lisensi sebesar Rp1 miliar (sekitar 62.500 dolar AS) akan dikenakan tarif tambahan dalam jumlah yang sama, sehingga membuat biaya distribusi melonjak dua kali lipat.
Kebijakan ini langsung memicu kegelisahan di pasar global. Banyak pihak di industri perfilman internasional menilai langkah Trump sebagai bentuk proteksionisme budaya yang ekstrem. Tidak hanya berdampak pada keberagaman tontonan di bioskop AS, tarif tinggi ini juga dikhawatirkan akan menghambat kerja sama produksi lintas negara dan pertukaran budaya.
Sejumlah negara mitra dagang dilaporkan tengah menyiapkan langkah balasan. Retaliasi bisa mencakup tarif terhadap produk budaya Amerika, termasuk film, serial, hingga musik.
Di dalam negeri, reaksi pun beragam. Sebagian pihak mendukung kebijakan ini sebagai strategi untuk membangkitkan industri film AS, namun tidak sedikit yang menyuarakan kekhawatiran soal dampaknya terhadap konsumen dan pelaku distribusi, terutama jaringan bioskop yang selama ini mengandalkan film-film internasional.
Sejak kembali menjabat sebagai presiden pada Januari lalu, Trump memang dikenal agresif dalam memberlakukan tarif impor terhadap berbagai produk asing. Kebijakan ini menjadi kelanjutan dari agenda ekonomi “America First” yang kembali ia dorong — kini merambah ke ranah budaya dan hiburan.
(HP)