WASHINGTON, D.C., Suarabersama – Optimisme pasar bahwa perang dagang global mulai mereda kembali pupus setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melontarkan ancaman tarif baru yang mengejutkan pelaku usaha dan pasar keuangan global.
Setelah sebelumnya menunjukkan sinyal damai lewat kesepakatan awal dengan Inggris dan China, Trump pada Jumat (23/5/2025) menyatakan akan memberlakukan tarif sebesar 25% pada smartphone yang tidak diproduksi di AS—menyasar langsung Apple Inc. dan Samsung Electronics Co. Ia juga mengancam tarif hingga 50% terhadap Uni Eropa, memperkeruh hubungan dagang antarnegara maju.
Pernyataan itu langsung memicu reaksi negatif pasar: bursa saham global terguncang, dolar AS jatuh ke posisi terendah sejak 2023, dan pelaku bisnis kembali menghadapi ketidakpastian yang membayangi keputusan investasi mereka.
“Perdamaian belum tercapai,” ujar Marcus Noland, Wakil Presiden Eksekutif Peterson Institute for International Economics. Ia menyebut pernyataan Trump sebagai gambaran dari arah kebijakan dagang yang penuh risiko dan tidak konsisten.
Trump, dalam pernyataan dari Ruang Oval, menegaskan bahwa dirinya “tidak mencari kesepakatan” dengan UE, dan mengklaim bahwa sudah saatnya AS memainkan strategi yang ia anggap efektif.
Padahal, pekan ini Trump meraih kemenangan legislasi di dalam negeri, setelah DPR meloloskan paket pajak dan pengeluaran besar yang dia dorong. Namun, ia tampaknya tetap berfokus pada agenda tarif sebagai alat utama kebijakan ekonominya.
UE Siap Tanggapi dengan Tarif Balasan
Blok Uni Eropa mulai mempersiapkan langkah balasan terhadap kebijakan AS. Jika negosiasi gagal, UE telah menyiapkan daftar tarif baru senilai €95 miliar (sekitar $107 miliar) atas produk AS, termasuk mobil dan suku cadang.
Sebelumnya, UE dan AS sepakat untuk melakukan jeda 90 hari dalam tarif timbal balik terkait baja dan aluminium, namun pernyataan terbaru dari Trump menggoyahkan kesepakatan tersebut.
Tarif Tambahan Masih Bisa Muncul
Pejabat Gedung Putih menyebut beberapa perjanjian dengan negara mitra seperti India sedang dalam tahap akhir, dan negosiasi juga masih berjalan dengan Jepang, Vietnam, dan Israel. Namun, analis memperingatkan bahwa kebijakan tarif Trump bisa berubah sewaktu-waktu.
Menurut Goldman Sachs, tarif efektif AS berpotensi naik hingga 13 poin persentase pada 2025, menjadi yang tertinggi sejak era Depresi Besar. Kendati demikian, mereka juga meragukan bahwa kebijakan ini akan berhasil mendorong produksi dalam negeri secara signifikan.
Ketidakpastian Membayangi Masa Depan Perdagangan
Ancaman tarif dari Trump bahkan menyasar negara-negara yang memiliki perjanjian dagang formal dengan AS, seperti Korea Selatan dan Australia, menimbulkan kekhawatiran bahwa setiap kesepakatan bisa dengan mudah dibatalkan.
“Kemampuan presiden untuk mengabaikan perjanjian dagang yang sudah ada sangat mengkhawatirkan,” kata Noland. Ia memperingatkan bahwa dunia kini menghadapi risiko ketidakpastian jangka panjang dalam sistem perdagangan internasional.