Suara Bersama

Status Kewarganegaraan Eks Marinir yang Gabung Tentara Rusia, Pemerintah Diminta Waspada

Jakarta – Permohonan Satria Arta Kumbara, mantan prajurit Korps Marinir TNI AL yang kini diketahui menjadi tentara relawan di Rusia, untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), tengah menjadi polemik nasional. Beredarnya video pengakuan dirinya di media sosial memicu respons luas dari berbagai kalangan.

Dalam video viral tersebut, Satria menyatakan ketidaktahuannya bahwa penandatanganan kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia membuatnya otomatis kehilangan status WNI. Ia juga meminta dukungan dari sejumlah tokoh, termasuk Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, untuk memulihkan kembali kewarganegaraannya.

Pemerintah Tegaskan Kehilangan Status WNI Terjadi Secara Otomatis

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyampaikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kewarganegaraan seseorang gugur secara otomatis apabila yang bersangkutan bergabung dengan militer negara asing tanpa izin Presiden. Hal ini tertuang dalam Pasal 23 huruf d dan e.

“Tidak ada pencabutan formal, karena status WNI-nya hilang dengan sendirinya jika terbukti bergabung dengan dinas militer asing,” ujar Supratman dalam pernyataan tertulis.

Ia menambahkan, hingga saat ini pemerintah belum menerima laporan resmi mengenai keberadaan Satria. Jika Satria ingin kembali menjadi WNI, ia harus menempuh jalur naturalisasi melalui permohonan kepada Presiden RI.

DPR Minta Pemerintah Lakukan Kajian Mendalam

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyikapi kasus ini. Menurutnya, keputusan untuk mengembalikan status kewarganegaraan harus mempertimbangkan aspek integritas dan loyalitas terhadap negara.

“Bergabung secara sadar dengan militer asing merupakan keputusan besar dengan konsekuensi hukum yang signifikan. Ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi juga menyangkut kedaulatan dan kepentingan nasional,” tegasnya.

Dave mendorong agar proses pemeriksaan latar belakang Satria dilakukan secara komprehensif oleh lintas kementerian, termasuk Kemenkumham, Kemenlu, dan lembaga intelijen, agar tidak menciptakan preseden yang berbahaya bagi sistem hukum dan pertahanan nasional.

Pakar: Jangan Lupakan Implikasi Diplomatik dan Keamanan

Dari sisi akademisi, Direktur Eksekutif Pusat Studi ASEAN UGM, Dafri Agussalim, turut mengingatkan pemerintah agar tak gegabah dalam memberikan keputusan. Ia menekankan bahwa isu ini tidak hanya berdampak hukum, tetapi juga menyangkut citra diplomatik dan keamanan nasional Indonesia.

“Jika pemerintah langsung menerima kembali Satria, itu bisa menimbulkan tafsir negatif dari komunitas internasional. Negara lain bisa menyangka ada agenda tersembunyi atau melihat Indonesia sebagai negara yang tidak tegas,” kata Dafri.

Menurutnya, penanganan kasus Satria seharusnya melibatkan lebih banyak lembaga negara, termasuk Kementerian Pertahanan dan aparat intelijen, untuk mengusut tuntas bagaimana seorang eks prajurit TNI bisa terlibat dalam militer asing.

Ia menyimpulkan bahwa meski dari sisi legal pemerintah berhak menolak, keputusan itu harus dilandasi kebijaksanaan dan transparansi agar tetap menjunjung hak asasi manusia tanpa mengabaikan aspek strategis bangsa.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + nineteen =