Suara Bersama

Sidang Etik di MKD: Aksi Penjarahan Disebut Akibat Rasa Ketidakadilan Publik

Jakarta – Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, menilai bahwa peristiwa penjarahan di sejumlah rumah milik anggota dewan dan menteri pada gelombang demonstrasi 25–31 Agustus lalu merupakan bentuk akumulasi dari rasa kekecewaan publik terhadap situasi yang dianggap tidak adil.

Adrianus menyampaikan pandangannya saat hadir sebagai saksi ahli dalam sidang pendahuluan kasus dugaan pelanggaran etik lima anggota DPR nonaktif di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (3/11).

Ia menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor yang memicu aksi penjarahan tersebut. Namun, menurutnya, penyebab paling kuat berasal dari perasaan kolektif masyarakat terhadap ketidakadilan sosial.

“Ada satu hal yang saya duga kuat menjadi pemicu yaitu adanya collective feeling atau perasaan bersama berupa sense of injustice di tengah masyarakat,” kata Adrianus.

Dalam literatur kriminologi, Adrianus menyebut insiden penjarahan saat aksi demonstrasi akhir Agustus sebagai bentuk limited looting atau penjarahan terbatas. Seiring waktu, fenomena itu berkembang menjadi targeted looting — yakni penjarahan yang telah direncanakan dengan sasaran tertentu.

Atas dasar itu, ia meyakini bahwa aksi penjarahan di empat rumah anggota DPR dan satu menteri tersebut tidak terjadi secara spontan.

“Penjarahan ini direncanakan, atau dalam istilah lain disebut predestined,” katanya.

Lebih lanjut, Adrianus menjelaskan bahwa perasaan ketidakadilan tersebut diperkuat oleh narasi yang menyebar di media sosial, yang kemudian memunculkan ajakan untuk turun ke jalan.

“Namun, kondisi ini membutuhkan pemicu atau triggering. Ajakan-ajakan seperti ‘kumpul di sini’, ‘bakar Monas’, atau ‘serang Mabes Polri’ itulah yang saya sebut sebagai trigger atau faktor pencetus,” katanya.

Menurutnya, emosi massa memuncak setelah muncul korban akibat tindakan aparat keamanan. Ia menegaskan bahwa tanpa adanya perasaan kolektif mengenai ketidakadilan, kerusuhan tidak akan terjadi.

“Apa yang dilakukan oleh beberapa kalangan tersebut adalah bagian dari triggering yang kemudian ditindaklanjuti oleh kepolisian karena memenuhi unsur perencanaan dan menimbulkan korban,” katanya.

Dalam insiden tersebut, empat rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, yakni kediaman Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, serta rumah milik Sri Mulyani yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan.

Kelima nama tersebut — termasuk Adies Kadir — kini berstatus nonaktif dan tengah menjalani proses persidangan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). (*)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 5 =