Jakarta, Suarabersama.com – Sejumlah pengguna yang terafiliasi dengan kelompok ekstremis sayap kanan mulai meninggalkan aplikasi Telegram, menyusul pernyataan CEO Pavel Durov yang berkomitmen untuk menindak tegas konten ilegal dan memberikan data pengguna kepada pihak berwenang. Perpindahan ini terjadi setelah Durov ditangkap oleh polisi di Prancis terkait dugaan bahwa Telegram membantu penyebaran konten pelecehan anak di bawah umur dan memicu kegiatan kriminal.
Dalam beberapa pekan terakhir, pengguna Telegram yang khawatir tentang privasi mereka beralih ke SimpleX, sebuah aplikasi perpesanan baru yang menjanjikan keamanan lebih baik. SimpleX tidak memerlukan otentikasi pengguna, email, atau nomor telepon, dan mengklaim tidak dapat melacak profil pengguna.
Analis dari Institute for Strategic Dialogue (ISD), Steven Rai, menyatakan bahwa fitur keamanan SimpleX, termasuk enkripsi end-to-end yang diaktifkan secara default, menarik perhatian ekstremis yang ingin menghindari pengawasan. “SimpleX memiliki banyak fitur keamanan yang dilihat menguntungkan oleh para ekstremis daripada Telegram. Selain memiliki enkripsi end-to-end yang diaktifkan secara default untuk semua pesan, SimpleX juga membanggakan diri sebagai platform obrolan pertama yang menghindari kebutuhan akan ID pengguna.” ucap Rai, melansir The Guardian, Selasa (8/10).
SimpleX telah diunduh lebih dari 100.000 kali pada bulan Agustus dan mendapatkan pendanaan awal sebesar $1,3 juta dari investor terkemuka, termasuk mantan CEO Twitter Jack Dorsey. Dorsey memuji aplikasi ini sebagai “menjanjikan” dan berpotensi lebih baik daripada aplikasi privasi lainnya seperti Signal.
Meski terjadi migrasi pengguna, kelompok ekstremis seperti Terrorgram di Inggris tetap aktif. Para penyebar propaganda di kanal Telegram segera membuka saluran baru di SimpleX, menunjukkan bahwa meski satu platform ditinggalkan, upaya untuk berkomunikasi dan menyebarkan ideologi ekstrem masih berlanjut.
(HP)



