Suara Bersama

Setelah Banjir Impor yang Menyebabkan Badai PHK, Pemerintah Revitalisasi Industri Manufaktur

Jakarta, Suarabersama.com – Setelah dihantam badai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan tekanan dari produk impor sepanjang tahun 2024, Indonesia diperkirakan masih akan menghadapi tantangan besar di tahun 2025 ini. Meskipun ada beberapa sektor yang menunjukkan peluang untuk berkembang, sebagian besar sektor yang sebelumnya rentan, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), diprediksi akan tetap stagnan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa pemerintah telah memetakan sektor-sektor yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja serta sektor-sektor yang kemungkinan besar akan terus mengalami tekanan. “Yang rentan dan memang harus mendapat perhatian itu ada keranjang sendiri,” ujar Agus dalam wawancara di kantornya pada 6 Januari 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa industri pengolahan Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4,72 persen pada triwulan ketiga 2024, dengan kontribusi terbesar datang dari sektor makanan dan minuman yang tumbuh 5,82 persen, industri logam dasar 12,36 persen, dan industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, serta peralatan listrik yang tumbuh 7,29 persen. Meskipun demikian, sektor industri pengolahan masih belum mampu mencapai kontribusi yang setara dengan capaian tahun 2002 yang sebesar 32 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Industri pengolahan kini memberikan kontribusi sebesar 19,02 persen terhadap PDB Indonesia pada periode ini, sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2023 yang tercatat sebesar 18,67 persen. Meskipun angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan, sektor manufaktur secara keseluruhan masih belum mampu melepaskan diri dari tren deindustrialisasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, mengatakan bahwa kontribusi industri pengolahan diperkirakan masih akan bertahan pada 2025. “Namun, deindustrialisasi masih belum bisa dibalik menjadi reindustrialisasi. Tantangan besar masih ada, terutama bagi sektor-sektor yang rentan,” ujarnya.

Kondisi ini menggambarkan adanya ketidakpastian dalam sektor manufaktur Indonesia, yang menghadapi persaingan ketat dari produk impor serta permasalahan struktural di dalam negeri. Pemerintah pun diharapkan dapat lebih fokus pada upaya pemberdayaan sektor-sektor yang berpotensi berkembang untuk mengatasi stagnasi yang diprediksi akan terus berlanjut.

Apakah sektor tertentu dapat memanfaatkan peluang yang ada atau justru semakin tertekan, hanya waktu yang akan menjawab, namun yang jelas, industri manufaktur Indonesia masih membutuhkan perhatian dan kebijakan yang tepat untuk bangkit dari stagnasi dan memacu pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.

(HP)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − thirteen =