JAKARTA – Rapat Paripurna DPR RI pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menjelaskan bahwa pembahasan RUU ini telah berlangsung sejak tahun 2023 oleh Komisi III DPR RI.
“Tadi seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna oleh ketua Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir dua tahun,” ujar Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Puan menegaskan bahwa penyusunan RUU tersebut sudah melalui pelibatan berbagai pihak untuk memberikan masukan sebagai wujud partisipasi yang bermakna.
“Sudah dari kurang lebih menerima 130 masukan, kemudian sudah muter-muter di beberapa banyak wilayah Indonesia, Yogya (Yogyakarta), Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain sebagainya,” kata Puan, dikutip dari Antaranews.
“Kemudian, sudah banyak sekali masukan terkait dengan hal ini dari tahun 2023. Jadi porsesnya itu sudah panjang,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyampaikan keberatan karena merasa dicatut dalam proses pembahasan RUU oleh Komisi III DPR RI.
Puan menjelaskan bahwa KUHAP terbaru ini akan menggantikan regulasi lama yang sudah berusia 44 tahun, sehingga menurutnya berbagai persoalan hukum selama empat dekade terakhir tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya pembaruan. Ia menambahkan bahwa RUU KUHAP baru telah memuat banyak penyempurnaan, termasuk penyesuaian dengan perkembangan sistem hukum modern.
Namun, sehari sebelum pengesahan, Koalisi Masyarakat Sipil kembali menyuarakan protes karena merasa nama mereka dicatut dan masukan mereka tidak disampaikan secara benar di forum DPR. Koalisi ini terdiri dari berbagai organisasi seperti YLBHI, LBHM, IJRS, LBH APIK, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, serta AJI.
“Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi dan Kebohongan DPR: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!” demikian isi siaran pers Koalisi pada Senin, 17 November 2025. Mereka juga menjelaskan bahwa rapat Panitia Kerja (Panja) hanya berlangsung selama dua hari, yaitu 12 dan 13 November 2025.
Dalam dua hari itu, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas sejumlah masukan yang disebut sebagai aspirasi masyarakat sipil. Namun menurut Koalisi, sebagian masukan yang dibacakan tidak akurat dan bahkan berbeda substansi dari dokumen masukan resmi yang telah mereka berikan melalui RDPU, draf tandingan, maupun dokumen lain.
Koalisi menilai bahwa mereka dimanipulasi karena sejumlah pasal kontroversial justru dimasukkan atas nama mereka. Mereka menyebut proses Panja sebagai bentuk manipulasi yang menciptakan kesan seolah-olah masukan telah diakomodasi.
Koalisi juga mengungkapkan beberapa contoh pasal yang disebut sebagai usulan mereka oleh DPR, termasuk pasal 222 RKUHAP terkait perluasan alat bukti berupa pengamatan hakim, serta penjelasan Pasal 33 ayat (2) mengenai definisi intimidasi yang dibatasi pada penggunaan senjata atau benda tajam.
“Tidak ada yang pernah mengajukan masukan tersebut atas nama koalisi, termasuk dalam draf tandingan versi Koalisi Masyarakat Sipil maupun dokumen masukan lainnya,” tegas Koalisi.
Mereka juga membantah klaim DPR yang menyebut YLBHI mengusulkan pasal baru tentang Perlindungan Sementara.
“YLBHI tidak pernah memberikan masukan redaksional atau usulan pasal baru mengenai Perlindungan Sementara dengan mekanisme yang ada dalam Draf RKUHAP terbaru,” ujar Koalisi. (*)



