Suara Bersama

Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional Dikritik, Ini Respons DPR dan Masyarakat

Jakarta, Suarabersama.com – Pemerintah tengah menggarap proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan. Proyek ini telah mencapai sekitar 60 persen dan ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025. Namun, rencana tersebut menuai penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menilai upaya ini sarat kepentingan dan berisiko menjadi alat kontrol pemikiran rakyat.

Koalisi yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan penolakan tegas dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI, Senin (19/5/2025). Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menyebut proyek ini sebagai bentuk rekayasa sejarah dengan pendekatan tafsir tunggal yang membahayakan demokrasi.

“Tindakan ini merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” ujar Marzuki.

Anggota AKSI lainnya, Andi Achdian, menilai penulisan ulang sejarah oleh negara berisiko mengaburkan masa lalu dan memuliakan kekuasaan secara sepihak.

“Penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan harus ditolak,” tegasnya.

Sementara itu, Komisi X DPR RI mengaku belum mendapat penjelasan detail maupun dokumen resmi dari pemerintah terkait proyek ini. Ketua Komisi X, Hetifah Sjaifuddin, dan anggota Mercy Barends, menyatakan baru mengetahui rencana tersebut melalui pemberitaan dan media sosial.

Dari sisi legislatif, Ketua DPR RI Puan Maharani juga angkat bicara. Ia meminta pemerintah transparan dan tidak mengaburkan sejarah.

“Yang penting jangan ada pengaburan fakta. Sejarah, baik yang manis maupun pahit, harus dicatat sebagaimana adanya,” kata Puan, seraya mengingatkan semboyan “Jas Merah” dari Presiden Soekarno.

Editor umum proyek sejarah nasional, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menyampaikan bahwa penulisan ulang terdiri dari 10 bab, mulai dari sejarah awal (sebelum mengenal tulisan), masa kolonialisme, hingga era Reformasi dan pemerintahan Presiden Jokowi. Ia menjelaskan pendekatan baru yang digunakan, seperti mengganti istilah “prasejarah” yang dinilai merendahkan masyarakat pra-tulis, serta menekankan fakta dan temuan baru sebagai dasar penulisan.

Meski demikian, kontroversi seputar independensi dan objektivitas dalam penulisan sejarah ini masih menjadi sorotan utama masyarakat sipil dan parlemen.

(HP)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 + eight =