Jakarta, Suarabersama.com – Dua tokoh nasional, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, akhirnya resmi menghirup udara bebas usai Presiden Prabowo Subianto menandatangani keputusan presiden (keppres) terkait pemberian abolisi dan amnesti.
Proses pembebasan keduanya berlangsung cepat. Setelah pimpinan DPR menyetujui surat presiden (surpres) pada Kamis malam (31/7), keppres langsung diterbitkan dan dikirimkan ke dua lembaga penegak hukum yang menangani kasus mereka: Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk Tom Lembong dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk Hasto.
Pada Jumat keesokan harinya, KPK dan Kejagung langsung menindaklanjuti keppres tersebut dan melepaskan keduanya hampir secara bersamaan. Perdebatan mengenai layak tidaknya abolisi bagi Tom ataupun amnesti terhadap Hasto Kristiyanto dan 1.116 narapidana lainnya kini dianggap tak lagi relevan.
Presiden Prabowo Subianto telah menjalankan hak prerogatif yang dimilikinya menurut konstitusi. “Namanya juga hak prerogatif, berarti hak yang istimewa dimiliki presiden.” Selain itu, proses ini pun telah mengacu pada pertimbangan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, meskipun presiden memiliki hak eksklusif, penggunaan hak tersebut tetap tunduk pada prinsip check and balance antara cabang eksekutif dan legislatif.
Sejak era Presiden Sukarno hingga Joko Widodo, hak prerogatif ini sudah berkali-kali digunakan. Pengampunan melalui amnesti dan abolisi menjadi alat rekonsiliasi nasional, termasuk bagi mereka yang pernah dianggap musuh negara, seperti pelaku pemberontakan separatis pasca-kemerdekaan yang dimaafkan asalkan menyerahkan senjata.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menerbitkan amnesti dan abolisi pada 2005 bagi para anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bagian dari kesepakatan damai di Aceh. Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberi amnesti kepada aktivis anti-Orde Baru seperti Budiman Sudjatmiko.
Pada era Prabowo, pemberian amnesti juga mencakup nama kontroversial lain seperti Yulianus Paonganan—terpidana kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi pada 2015 lewat unggahan di media sosial. “Dalam pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo, selain nama Hasto, juga ada terpidana penghinaan terhadap mantan Presiden Jokowi, Yulianus Paonganan.”
Secara prinsip, amnesti dan abolisi bertujuan menyembuhkan luka politik nasional atau menyelesaikan konflik tertentu. Presiden memiliki keleluasaan untuk memutuskan siapa saja yang berhak mendapat pengampunan—termasuk mereka yang sempat dianggap berseberangan dengan pemerintahan sebelumnya.
Pertimbangan atas kepentingan negara yang lebih luas kerap menjadi dasar kebijakan seperti ini. Dalam konteks itu, presiden memiliki ruang untuk memberikan pengampunan tanpa harus mencampuri proses hukum secara langsung. Mekanisme pengawasan dari DPR-lah yang menjadi penyeimbang. “Bila presiden sebagai pedal gas, DPR kali ini bisa berfungsi sebagai rem agar tidak ada yang kebablasan. Jangan sampai kemurahan hati presiden memberi ampunan dianggap murahan.”
Namun, respons publik tidak seragam. Sebagian kalangan mempertanyakan keputusan ini karena dianggap tidak lazim—pasalnya, amnesti dan abolisi biasanya diberikan untuk perkara politik, bukan untuk kasus korupsi seperti yang dialami Hasto atau Tom.
Kritik tersebut sah dan sepatutnya dihargai, karena mencerminkan kepedulian warga terhadap masa depan negeri ini. Yang terpenting, perbedaan pandangan harus dijaga dalam semangat demokrasi dan saling menghormati. “Sikap seperti itu juga cermin kecintaan mereka terhadap republik ini. Yang paling utama ialah, kedua pihak, baik yang setuju atau tidak terhadap amnesti dan abolisi kali ini, tetap saling menghormati.”



