Suara Bersama

Potensi dan Tantangan Dekarbonisasi Penerbangan di Indonesia Menuju Net Zero Emission 2050

Jakarta, Suarabersama – Dekarbonisasi transportasi udara perlu menjadi fokus utama para pemangku kepentingan di Indonesia. IATA, asosiasi transportasi udara internasional, memproyeksikan bahwa pasar penerbangan Indonesia akan menjadi yang terbesar keempat di dunia pada 2039. Pertumbuhan ini dipicu oleh perkembangan ekonomi yang stabil, kondisi geografis Indonesia, serta pembangunan di luar Jawa seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). Jika tidak ada langkah intervensi yang signifikan, emisi CO2 dari penerbangan domestik diprediksi akan meningkat tiga kali lipat pada 2060 dibandingkan dengan periode pra-pandemi Covid-19. Salah satu solusi untuk mengurangi emisi adalah beralih ke moda transportasi dengan tingkat emisi CO2 per kilometer yang lebih rendah, seperti mobil atau kereta api. Namun, metode ini kurang efektif untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menargetkan emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) di industri penerbangan internasional pada tahun 2050. Sektor penerbangan sendiri menyumbang sekitar 2,5% dari emisi CO2 global dan berkontribusi terhadap 4% pemanasan global. Di Indonesia, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar kedua pada 2021, di bawah sektor energi, dengan emisi lebih dari 130 MtCO2. Meskipun subsektor transportasi udara hanya menyumbang 5% dari total emisi transportasi, perjalanan menuju NZE lebih panjang karena belum adanya teknologi elektrifikasi pesawat yang matang. Salah satu hambatan teknis utama adalah kepadatan energi baterai, yang masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan avtur.

Salah satu teknologi dekarbonisasi terkini adalah penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang berbahan baku limbah tanaman. SAF dapat digunakan langsung tanpa perlu memodifikasi mesin pesawat. Pengembangan SAF menjadi perhatian penting di Indonesia, terutama dengan rencana Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk meluncurkan Peta Jalan Pengembangan SAF pada Bali International Air Show. Salah satu bahan baku SAF yang telah disetujui oleh ICAO adalah Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah. Indonesia memiliki potensi besar dalam memanfaatkan UCO, mengingat konsumsi minyak goreng nasional mencapai 16 juta kiloliter pada 2021, dengan limbah UCO sebesar 3 juta kiloliter.

Namun, pemanfaatan UCO sebagai SAF membutuhkan sistem pengumpulan, pengolahan, dan distribusi yang terstruktur. Hingga kini, regulasi terkait hal ini masih minim. Berdasarkan survei Traction Energy Asia (2022), 78% rumah tangga dan usaha mikro di Jawa-Bali masih membuang UCO ke saluran air. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pelacakan UCO untuk meningkatkan tingkat recovery yang saat ini baru mencapai 8%, seperti melalui platform digital Sistem Informasi Minyak Jelantah (Simijel).

Selain pengumpulan, pengolahan UCO juga menjadi perhatian. Per Juli 2023, ASTM International telah menyetujui 11 metode pengolahan SAF. Dua metode yang bisa digunakan untuk mengolah UCO adalah hydroprocessed esters and fatty acids (HEFA) dan catalytic hydrothermolysis jet fuel (CHJ). Pemerintah perlu mendukung Pertamina dalam memperluas pengolahan SAF domestik melalui kilang ramah lingkungan. Pertamina, melalui Kilang Cilacap, sudah memproduksi SAF menggunakan metode HEFA yang sesuai dengan standar CORSIA oleh ICAO. Kilang ini perlu dioptimalkan untuk mengolah berbagai jenis feedstock, termasuk UCO. Selain itu, pengembangan kilang ramah lingkungan di Plaju, yang ditargetkan selesai pada 2027, juga diharapkan mampu mengolah UCO.

Tahap akhir adalah distribusi SAF. Bahan bakar ini perlu dicampur dengan avtur konvensional di terminal bahan bakar yang sudah bersertifikasi internasional. Di Indonesia, Bandara Ngurah Rai Bali dan Soekarno-Hatta Jakarta memiliki terminal bahan bakar yang telah mendapatkan sertifikasi tersebut. Pemerintah, melalui Pertamina, perlu memastikan kedua terminal ini dapat segera beroperasi untuk mendukung distribusi SAF.

Dengan target ICAO menuju NZE pada 2050 serta meningkatnya kesadaran global akan perubahan iklim, kebutuhan SAF diprediksi mencapai 35 juta ton pada 2030. Produksi SAF saat ini diperkirakan baru mencapai 18,3 juta ton per tahun, sehingga kekurangan pasokan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam ekspor SAF di pasar global.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × two =