Suara Bersama

Poin Penting Putusan MK Atas UU Cipta Kerja

Jakarta, Suarabersama.com – Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan beberapa gugatan yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yang diajukan oleh kelompok buruh pada Kamis, 31 Oktober 2024. Gugatan ini berasal dari berbagai serikat buruh, termasuk FSPMI, KSPSI, KPBI, KSPI, dan Partai Buruh, serta dua buruh individu. Said Iqbal, Presiden  Partai Buruh, juga turut hadir dalam aksi unjuk rasa di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat (31/10/2024)  yang mengawal pembacaan Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang terdiri dari 687 halaman. Majelis hakim mengelompokkan putusan tersebut ke dalam beberapa klaster, berikut poin pentingnya :

1. UU Ketenagakerjaan baru terpisah dari UU Cipta Kerja

Dalam putusannya, MK mendorong pembentuk undang-undang untuk segera merancang undang-undang ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja. Mahkamah menggarisbawahi adanya “impitan norma” terkait ketenagakerjaan yang dianggap sulit dipahami oleh masyarakat umum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

2.Tenaga kerja Indonesia harus diprioritaskan daripada TKA

MK membatalkan ketentuan multitafsir yang tidak secara jelas mengatur pembatasan terhadap masuknya TKA, yang seharusnya “hanya dalam hubungan kerja untuk posisi tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan posisi yang akan diisi.” Majelis hakim juga menambahkan klausul “dengan memperhatikan prioritas penggunaan tenaga kerja Indonesia” pada Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja.

3. Durasi Kontrak Kerja Dipertegas

MK juga menegaskan kembali aturan mengenai durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), yang sebelumnya dalam UU Cipta Kerja hanya mengacu pada kontrak kerja. Hal ini berbeda dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, yang menetapkan bahwa durasi harus sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Dengan putusan ini, demi melindungi hak pekerja atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, MK menetapkan bahwa durasi maksimum PKWT adalah 5 tahun, termasuk jika ada perpanjangan PKWT.

4. Pembatasan Jenis Outsourcing

Majelis hakim juga meminta agar undang-undang yang akan datang mengatur bahwa menteri perlu menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) untuk memberikan perlindungan hukum yang adil bagi pekerja. Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu memiliki standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan melalui outsourcing, sehingga para buruh hanya akan terlibat dalam pekerjaan outsourcing sesuai kesepakatan yang terdapat dalam perjanjian. Pembatasan ini diharapkan dapat memperjelas apa yang diperbolehkan dan tidak dalam praktik outsourcing, yang sering kali menimbulkan konflik atau sengketa antara pekerja dan perusahaan.

5. Opsi Libur Dua Hari dalam Seminggu

MK juga mengembalikan opsi bagi pekerja untuk memiliki libur dua hari dan lima hari kerja dalam seminggu. Sebelumnya, UU Cipta Kerja hanya memberikan hak libur satu hari seminggu tanpa alternatif untuk libur dua hari. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan telah menyediakan opsi libur dua hari seminggu bagi pegawai, yang dapat diterapkan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.

6. Upah Harus Memenuhi Komponen Hidup Layak

UU Cipta Kerja menghapus penjelasan tentang komponen hidup layak dalam pasal mengenai penghasilan atau upah, yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan. “Sehubungan dengan norma baru tersebut, Mahkamah menekankan perlunya penjelasan tentang ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan ini sangat penting dalam konteks pengupahan,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan. Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa pasal tentang pengupahan harus “dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, yang mencakup makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.”

7. Kembalikan peran Dewan Pengupahan

Mahkamah juga mengembalikan peran dewan pengupahan yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. MK menekankan bahwa kebijakan upah harus “melibatkan dewan pengupahan daerah yang mencakup unsur pemerintah daerah” sebagai pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan upah. Aturan mengenai dewan pengupahan dalam UU Cipta Kerja juga dilengkapi dengan klausul yang menyatakan bahwa dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif.”

8. Skala Upah Harus Proporsional

Majelis hakim merasa perlu menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”. MK juga menjelaskan frasa “indeks tertentu” dalam konteks pengupahan sebagai “variabel yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota, dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja, serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja.”

9. Pemberlakuan Kembali Upah Minimum Sektoral

UU Cipta Kerja sebelumnya menghapus ketentuan mengenai upah minimum sektoral (UMS). MK berpendapat bahwa kebijakan ini, dalam praktiknya, sama dengan mengabaikan perlindungan yang memadai bagi pekerja. Mahkamah menegaskan bahwa UMS harus diberlakukan kembali karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, bergantung pada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan. Oleh karena itu, penghapusan UMS dianggap dapat mengancam standar perlindungan pekerja.

10. Peran Serikat Pekerja dalam Pengupahan

Mahkamah juga mengembalikan frasa “serikat pekerja/buruh” dalam ketentuan mengenai upah di atas upah minimum. Sebelumnya, UU Cipta Kerja membatasi kesepakatan hanya antara perusahaan dan pekerja. Selain itu, MK menekankan agar struktur dan skala upah di perusahaan tidak hanya mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga “golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.”

11. PHK Hanya Setelah Putusan Inkrah

MK menegaskan bahwa perundingan bipartit mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilaksanakan dengan musyawarah mufakat. Jika perundingan tersebut menemui jalan buntu, MK menegaskan bahwa PHK “hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap,” sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

12. Batas Bawah Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)

Mahkamah juga menyatakan bahwa pengaturan mengenai perhitungan UPMK dalam UU Cipta Kerja merupakan nominal batas bawah. MK menegaskan bahwa Pasal 156 ayat (2) pada pasal 81 angka 47 dari beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, selama tidak diartikan sebagai “paling sedikit.”

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

six − 4 =