Suara Bersama

Perubahan Perilaku Konsumen dan Sewa Tinggi Goyang Bisnis Kuliner Singapura

Jakarta – Fenomena mencemaskan tengah melanda industri kuliner di Singapura. Sepanjang tahun lalu, lebih dari 3.000 gerai makanan dan minuman (F&B) terpaksa menutup usahanya—rata-rata 250 restoran tutup setiap bulan. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam hampir dua dekade terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh Channel News Asia pada Minggu (21/9/2025).

Bahkan, restoran legendaris pun tak luput dari gelombang penutupan. Salah satunya adalah Ka-Soh, restoran Kanton berusia 86 tahun yang akan menyajikan sup ikan terakhirnya pada 28 September.

“Kalah,” ujar Cedric Tang, pemilik generasi ketiga Ka-Soh.
“(Meskipun kami) telah bekerja keras selama bertahun-tahun, kami [akhirnya] sudah cukup,” lanjutnya.

Tang menegaskan bahwa mereka tak ingin menaikkan harga karena Ka-Soh adalah warisan yang ingin tetap terjangkau bagi pelanggan lama.

Nasib Ka-Soh sejalan dengan banyak restoran lainnya yang tutup, termasuk Burp Kitchen & Bar, dan seluruh gerai dari Prive Group yang berhenti beroperasi pada 31 Agustus lalu. Bulan itu mencatat rekor 360 restoran tutup.

“Bahkan [restoran] yang paling ‘sehat’ pun tidak dapat bertahan hidup saat ini,” kata mantan pemilik restoran, Chua Ee Chien.

Biaya Sewa Melonjak

Faktor utama dari maraknya penutupan adalah lonjakan biaya sewa, meskipun bukan satu-satunya penyebab. Ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF), Terence Yow, menyebut mayoritas penyewa mengalami kenaikan sewa 20–49%.

“Ini sesuatu yang belum pernah kita lihat selama 15, 20 tahun terakhir,” ucap Yow.

Kenaikan ini dipicu meningkatnya permintaan akan ruko sebagai investasi, baik dari investor lokal maupun asing, usai diterapkannya kebijakan pembatasan pembelian properti residensial.

Menurut Ethan Hsu dari Knight Frank Singapura, pemilik properti juga menghadapi tekanan biaya konstruksi dan pemeliharaan yang naik masing-masing 30% dan 10%.

“Sewa hanyalah salah satu komponen dari beban besar yang dihadapi para penyewa,” ujarnya.

Krisis SDM dan Perubahan Konsumen

Selain sewa, pelaku usaha F&B menghadapi krisis tenaga kerja dan perubahan pola konsumsi. Untuk mempertahankan staf, banyak restoran kecil harus menaikkan gaji dan memotong jam kerja, namun tetap sulit bertahan.

Asosiasi Restoran Singapura menyuarakan kekhawatiran sejak Maret 2025 terkait keterbatasan kuota pekerja asing. Namun, pemerintah melihat ini sebagai efek dari kelebihan jumlah gerai, bukan kekurangan pekerja.

Saat ini, Singapura memiliki sekitar 23.600 gerai makanan, naik dari 17.200 pada 2016. Meski 3.047 gerai tutup, sekitar 3.800 gerai baru dibuka—namun dominasi tetap dimiliki oleh jaringan besar yang bermodal kuat.

Pemilik Burp Kitchen, Ronald Chye, menyebut adanya penurunan pengeluaran dan frekuensi kunjungan yang drastis.

“Frekuensi kunjungan pelanggan turun dari tiga, empat kali seminggu menjadi mungkin sebulan sekali,” kata Sarah Lim, istrinya.

Perubahan perilaku konsumen juga tercermin dalam cara mereka menemukan restoran baru. Survei SevenRooms 2023 mencatat 59% Gen Z Singapura menggunakan media sosial untuk mencari tempat makan.

Contohnya adalah Marie’s Lapis Cafe yang dikelola oleh Christopher Lim, 62 tahun. Di ambang tutup, Lim mendapat bantuan dari konsultan pemasaran digital Dylan Tan. Setelah pelatihan, kafe memproduksi video promosi  dan mulai aktif di media sosial. Hasilnya peningkatan kunjungan 30–40% dan reservasi penuh untuk minggu berikutnya.

“Kami hanya bertahan hidup di atas tali,” kata Lim, yang bahkan menjual rumah demi menyelamatkan bisnisnya.

Namun, media sosial bukan solusi jangka panjang untuk semua tantangan. Anggota Parlemen Edward Chia menyerukan peningkatan kuota pekerja asing dan solusi efisiensi tenaga kerja.

Beberapa restoran mulai menerapkan sistem teknologi, seperti Keng Eng Kee Seafood, yang menggunakan CRM dan sistem keanggotaan untuk memahami pelanggan dan mempertahankan staf.

“Kami juga mencari tahu preferensi staf tertentu untuk membantu mengurangi pengunduran diri karyawan,” kata pemiliknya, Paul Liew.

SGTUFF mendesak pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan sewa maksimum berdasarkan inflasi atau pertumbuhan PDB, agar penyewa tidak dipukul oleh lonjakan harga drastis.

“(Ini memastikan) penyewa tidak mengalami kenaikan harga yang tiba-tiba dan besar sebesar 50, 60, 70 persen,” kata Yow.

Kondisi industri F&B Singapura kini sedang di titik kritis, dan masa depan restoran kecil sangat bergantung pada kebijakan fiskal yang adil, dukungan SDM, serta kemampuan adaptasi dalam lanskap digital yang makin kompetitif. (*)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × one =