Suara Bersama

Perjanjian Pertahanan Australia–PNG Tertunda

Jakarta – Perjanjian pertahanan utama antara Australia dan Papua Nugini (PNG) gagal dicapai pada Rabu (17/9/2025), sehari setelah peringatan 50 tahun kemerdekaan PNG. Sebagai gantinya, kedua negara hanya menandatangani sebuah komunike bersama.

Menurut laporan RNZ Pasifik yang dikutip suarabersama.com, Kamis (18/9), hambatan utama terletak pada belum adanya persetujuan dari kabinet PNG. Padahal, Australia berharap kesepakatan tingkat tinggi itu bisa rampung minggu ini.

Pakta pertahanan yang disebut Perjanjian Pukpuk sejatinya akan menjadi tonggak bersejarah, karena memuat komitmen kedua negara untuk saling membela jika terjadi serangan militer.

Namun, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menegaskan penundaan bukan disebabkan perbedaan substansi, melainkan teknis. “Ini merupakan minggu yang sibuk di PNG dan penundaan itu sangat bisa dimengerti,” ujarnya. Ia memperkirakan perjanjian akan ditandatangani dalam “minggu-minggu mendatang.”

Perdana Menteri PNG James Marape juga menepis adanya masalah besar dalam proses negosiasi. “Kami tidak menjalankan kediktatoran militer di sini. Kami adalah negara demokrasi,” katanya. Ia menekankan kabinet akan segera memberikan persetujuan.

Komunike yang ditandatangani berisi rumusan utama Perjanjian Pukpuk yang disebut Albanese sebagai “langkah maju bersejarah.” Marape bahkan menegaskan PNG akan segera bergabung dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru sebagai sekutu militer formal Australia.

“Perjanjian ini memformalkan posisi yang masuk akal berdasarkan sejarah dan geografi kita. Papua Nugini yang mendekati Australia untuk meminta aliansi militer baru, bukan sebaliknya,” tegas Marape.

Sementara itu, Menteri Pertahanan PNG Billy Joseph sempat memperingatkan adanya pihak eksternal yang berupaya menggagalkan perjanjian. Meski demikian, Marape menepis dugaan campur tangan China. “Mari kita hormati Tiongkok, mereka telah lama menjadi teman. Namun mereka juga tahu dengan jelas bahwa kami memiliki mitra keamanan pilihan,” ujarnya.

Meski kedua negara optimistis, pakar hukum internasional Universitas Nasional Australia, Don Rothwell, mengingatkan proses belum final. “Sebelum perjanjian ditandatangani, secara teknis masih dalam tahap negosiasi. Jika kabinet PNG meminta perubahan bahasa dalam teks, hal itu masih dimungkinkan. Setelah ditandatangani, penyesuaian akan jauh lebih sulit,” jelasnya.

(HP)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 1 =