Jakarta, suarabersama.com – Pemerintah China angkat bicara menanggapi keputusan Amerika Serikat yang kembali menaikkan tarif impor terhadap produk China menjadi sebesar 245%. Dalam konferensi pers resmi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyatakan bahwa perang tarif ini dimulai oleh AS, sementara China hanya merespons dengan langkah balasan yang dinilai adil dan sah secara hukum internasional.
“Perang tarif ini dipicu oleh Amerika Serikat, dan respons China berupa tarif balasan sebesar 125% dilakukan demi menjaga prinsip keadilan dan keseimbangan,” ujar Lin Jian seperti dikutip dari China Daily, Rabu (16/4/2025).
Saat ditanya mengenai angka tarif yang diumumkan pemerintah AS, Lin menolak berkomentar secara langsung dan meminta wartawan untuk mengonfirmasi kebijakan tersebut ke pihak AS.
“Silakan sampaikan angka ini kepada pihak Amerika untuk mendapatkan jawabannya,” ujarnya singkat.
Meski menegaskan bahwa China tidak menginginkan konflik dagang, Lin menekankan bahwa Beijing juga tidak akan mundur apabila dipaksa masuk dalam situasi tersebut.
“China tidak bersedia berperang, tapi tidak takut untuk berperang,” tegasnya.
Lin juga mengkritik pendekatan pemerintahan Presiden Donald Trump yang dinilai terlalu menekan dan jauh dari prinsip dialog setara. Ia menyerukan agar Gedung Putih meninggalkan cara-cara koersif dan mulai membangun dialog berbasis saling menghormati dan saling menguntungkan.
“Jika Amerika Serikat ingin menyelesaikan persoalan ini lewat dialog, maka AS harus berhenti menggunakan tekanan ekstrem, berhenti mengancam dan memeras, dan mulai berdialog dengan China di atas dasar kesetaraan,” tegas Lin.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump secara resmi mengumumkan kenaikan tarif terhadap produk-produk asal China dari 145% menjadi 245%. Kenaikan ini disebut sebagai respons atas keputusan China yang terlebih dahulu membalas kebijakan tarif dari AS dengan tarif balasan sebesar 125%.
Kondisi ini menandai babak baru dalam tensi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yang diperkirakan akan mempengaruhi stabilitas pasar global serta hubungan dagang di kawasan Asia-Pasifik.
(HP)



