Jakarta, Suarabersama.com – Penolakan terhadap organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya semakin meluas di wilayah Bali. Masyarakat adat dan pecalang secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuan atas keberadaan ormas tersebut di Pulau Dewata. Gubernur Bali, Wayan Koster, turut memberikan pernyataan tegas bahwa GRIB Jaya tidak layak hadir di Bali karena dianggap berpotensi merusak citra pariwisata daerah.
Dari sudut pandang sosiolog Universitas Udayana (Unud), Gede Kamajaya, pembentukan ormas memang dilindungi oleh hukum. Namun, dalam konteks GRIB, reaksi penolakan masyarakat disebabkan oleh persepsi buruk yang sebelumnya sudah terbentuk.
“Secara yuridis pembentukan organisasi masyarakat di manapun dibenarkan. Hanya saja, kenapa muncul banyak penolakan, karena ormas (GRIB Jaya) ini diidentikkan oleh masyarakat dengan aksi premanisme,” jelas Kamajaya.
Menurut Kamajaya, penolakan terhadap GRIB Jaya tidak bisa dilepaskan dari dinamika lokal di Bali, di mana dalam beberapa tahun terakhir tengah berlangsung upaya membenahi citra organisasi masyarakat. Bali kini lebih menekankan pendekatan berbasis adat, di mana peran pecalang sebagai penjaga keamanan tradisional diperkuat karena dianggap selaras dengan nilai-nilai masyarakat yang menjunjung tinggi harmoni dan ketenangan.
“Sementara di Bali sedang berupaya memperbaiki image ormas yang sebelumnya juga sering terlibat aksi kekerasan dengan lebih banyak mengedepankan pengamanan adat, saya kira ini yang menyebabkan muncul penolakan,” tambah Kamajaya.
Kamajaya menekankan bahwa penerimaan masyarakat terhadap ormas sangat bergantung pada kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku. Menurutnya, ormas perlu menjalankan fungsi dan aktivitasnya sesuai ketentuan agar dapat memperbaiki citra yang selama ini lekat dengan kekerasan.
“Jika ingin diterima masyarakat, ormas harus mengikuti peraturan perundang-undangan soal ormas: apa fungsinya, bagaimana kegiatannya di masyarakat. Ini bagian dari cara membangun ulang image soal ormas yang selama ini identik dengan kekerasan. Publik akan menilai sendiri nantinya,” jelas Kamajaya.
Sebelumnya, Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan secara tegas penolakannya terhadap keberadaan GRIB Jaya di Bali. Ia menegaskan bahwa organisasi yang dipimpin oleh Rosario de Marshall alias Hercules tersebut hingga kini belum terdaftar secara resmi di wilayah Bali. Oleh karena itu, Pemprov Bali tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembubaran.
Namun demikian, Koster menambahkan bahwa apabila GRIB Jaya mengajukan pendaftaran ke depan, pemerintah daerah memiliki hak penuh untuk menolak keberadaannya. “Tidak akan diterima, pemerintah daerah berhak menolak sesuai kebutuhan dan pertimbangan di daerah,” kata Koster saat menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers di Kantor Gubernur Bali, Senin (12/5/2025).
Gubernur Bali, Wayan Koster, menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan kehadiran organisasi masyarakat seperti GRIB Jaya. Ia menilai ormas semacam itu tidak sejalan dengan karakter dan kebutuhan masyarakat Bali yang menjunjung kedamaian.
“Bali tidak membutuhkan kehadiran ormas yang berkedok menjaga keamanan, ketertiban, dan sosial dengan tindakan premanisme, tindak kekerasan, dan intimidasi masyarakat sehingga menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat Bali yang sudah sangat kondusif,” ujar Koster.
Lebih lanjut, Koster menyoroti dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan ormas semacam itu terhadap sektor pariwisata Bali, yang selama ini dikenal secara global sebagai destinasi yang aman dan nyaman.
“Kehadiran ormas seperti ini justru akan merusak citra pariwisata Bali, yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia yang paling aman dan nyaman dikunjungi,” sambung Koster.



