Jakarta, Suarabersama.com – Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Kamboja, Dr. Santo Darmosumarto, melakukan pertemuan dengan Menteri Senior sekaligus Kepala Sekretariat Committee to Combat Online Scams (CCOS) Kamboja, Chhay Sinarith, di Phnom Penh, pada Senin, 21 Juli 2025. Pertemuan tersebut membahas kerja sama dalam menanggulangi aktivitas penipuan daring (online scam), termasuk perkembangan terkini dari operasi pemberantasan yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah Kamboja.
Dalam diskusi, Chhay Sinarith menjelaskan hasil dari operasi serentak yang dilaksanakan di 15 provinsi Kamboja sejak 14 Juli 2025, yang berhasil mengamankan 2.780 individu, termasuk warga negara asing asal Tiongkok, Vietnam, Bangladesh, Korea Selatan, Pakistan, dan negara lain.
Menurut data yang tercantum di laman Kementerian Luar Negeri RI, terdapat 339 warga negara Indonesia (WNI) yang termasuk dalam jumlah tersebut dan tersebar di berbagai lokasi.
“Operasi ini merupakan implementasi langsung dari perintah PM Hun Manet tanggal 14 Februari 2025 lalu dan menjadi bukti atas komitmen Pemerintah Kerajaan Kamboja dalam penggulangan kejahatan penipuan daring, yang telah menjadi isu prioritas bagi Kamboja dan kawasan,” tegas Senior Minister Chhay Sinarith.
Sebagai langkah lanjutan, otoritas Kamboja akan menyelidiki lebih lanjut warga negara asing yang diamankan serta mendalami kasus-kasus yang terjadi di tiap provinsi.
Kerja Sama Lintas Negara
Otoritas di Kamboja juga memastikan akan membawa pihak-pihak terlibat dalam penipuan daring ke proses hukum, termasuk dalam kasus pencucian uang, penipuan berkedok lowongan kerja, serta kekerasan yang menyertainya.
Dalam pertemuan itu, Dubes RI menyampaikan dukungan terhadap upaya penegakan hukum oleh Pemerintah Kamboja. Ia menekankan bahwa karakter transnasional dari kejahatan ini menuntut kerja sama erat antarnegara.
Dubes juga menyatakan kesiapan KBRI Phnom Penh untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi di Kamboja dan Indonesia, sejalan dengan semangat Deklarasi Pemimpin ASEAN 2023 tentang Penanggulangan Perdagangan Orang akibat Penyalahgunaan Teknologi.
Di sisi lain, Dubes RI menyoroti pentingnya perlindungan terhadap WNI yang turut terjaring dalam operasi tersebut.
“Kami mendukung penuh upaya penegakan hukum Pemerintah Kamboja. Di saat yang sama, kami juga berkepentingan untuk memastikan bahwa para WNI yang saat ini berada dalam penanganan otoritas dapat diberikan hak-haknya, termasuk akses kekonsuleran dan informasi hukum yang jelas,” ujar Dubes RI.
Sejak berita mengenai operasi ini tersebar di media lokal, KBRI Phnom Penh aktif berkomunikasi dengan pihak kepolisian di berbagai provinsi yang menjadi pusat komunitas WNI.
Lonjakan Kasus WNI Terlibat Penipuan Daring
Berdasarkan informasi awal dari kepolisian Provinsi Poipet, tempat di mana 271 WNI diamankan, disebutkan bahwa sebagian dari mereka tidak kooperatif selama pemeriksaan awal, bahkan dilaporkan memalsukan identitas dan keterangan. Namun, pihak kepolisian Kamboja menegaskan bahwa seluruh WNI dalam kondisi aman dan sehat.
KBRI juga mencatat lonjakan signifikan dalam jumlah kasus perlindungan WNI di Kamboja dalam empat tahun terakhir. Pada 2024, dari 3.310 kasus WNI bermasalah, sekitar 75 persen berkaitan dengan keterlibatan dalam penipuan daring—angka ini melonjak lebih dari 250 persen dibandingkan tahun 2023.
Tren ini terus meningkat sepanjang Januari hingga Juni 2025, di mana 2.585 kasus ditangani, dan 83 persen di antaranya terkait penipuan daring. Keterangan dari para WNI menunjukkan bahwa mereka tergiur oleh tawaran kerja dengan gaji besar dan syarat minimal, yang pada akhirnya menjebak mereka dalam jaringan kejahatan daring.
Sebagai bentuk tanggung jawab, KBRI Phnom Penh terus menjalin sinergi dengan berbagai lembaga di dalam dan luar negeri guna memperkuat diplomasi perlindungan WNI.
Pemerintah Indonesia mengapresiasi langkah hukum Pemerintah Kamboja dan mengimbau masyarakat Indonesia untuk tidak tergiur bekerja secara non-prosedural di luar negeri, terlebih dalam aktivitas yang berkaitan dengan tindakan ilegal, karena dapat berujung pada konsekuensi hukum serius di negara tujuan.



