Jakarta, Suarabersama.com – Pemerintah menegaskan kembali komitmennya dalam merespons berbagai bentuk kekhawatiran publik dengan pendekatan berbasis data, solusi yang nyata, serta komunikasi yang membangun. Hal ini menjadi respons terhadap rencana aksi nasional bertajuk “Aksi Serentak” yang digagas oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan dijadwalkan berlangsung pada 25–28 Juli 2025.
Melalui surat instruksi yang ditandatangani oleh Koordinator Pusat BEM SI, Muzammil Ihsan, aksi tersebut mengusung narasi “Bangsa dalam Krisis”, serta menuding bahwa kebijakan pemerintah kian menjauh dari kepentingan masyarakat.
Namun, narasi tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat yang menilai bahwa seruan tersebut lebih banyak didasarkan pada sentimen emosional dan opini yang bersifat subjektif, alih-alih berasal dari kajian akademis yang objektif.
Aktivis dari Corong Rakyat, Hasan, mengemukakan bahwa penggunaan tagar-tagar seperti #IndonesiaCemas, #IndonesiaMakinGelap, #IndonesiaTergadaikan, #TolakRUUKUHAP, #JusticeForTomLembong, dan #JasMerahFadliZonk di media sosial justru memperlihatkan adanya polarisasi politik yang berpotensi merusak semangat intelektual yang seharusnya menjadi ciri khas gerakan mahasiswa.
“Gerakan mahasiswa seharusnya berpijak pada data dan kajian. Bukan menjadi corong kepentingan elite tertentu yang belum bisa move on dari hasil Pilpres,” ungkapnya.
Hasan menambahkan saat ini Indonesia sedang berada dalam masa transisi penuh harapan menuju terbentuknya pemerintahan baru yang sah, kokoh, dan demokratis. Ketika negara sedang membutuhkan stabilitas dan kerja sama dari semua pihak, munculnya narasi-narasi pesimistis yang tidak disertai argumen rasional justru berpotensi melemahkan semangat kebangsaan.
Senada dengan itu, pendiri Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi, mengingatkan bahwa aksi-aksi sejenis kerap dijadikan celah oleh kelompok yang bertentangan dengan konstitusi.
“Kita sudah sering melihat pola ini: narasi krisis diciptakan, massa diajak turun ke jalan, lalu muncul wacana delegitimasi pemerintah. Ini bukan murni gerakan moral mahasiswa, tapi agenda politik berkedok idealisme,” tegas Habib Syakur.
Peneliti dari Center for Inclusive Engagement (CIE), Muhammad Chaerul, turut berkomentar bahwa BEM SI seharusnya mengambil peran sebagai mitra kritis yang konstruktif, bukan menjadi aktor pengganggu proses demokrasi. Menurutnya, dalam situasi transisi menuju kepemimpinan Prabowo-Gibran, dukungan moral dan sosial justru sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan agenda pembangunan nasional.
Pemerintah menegaskan akan selalu terbuka terhadap kritik yang membangun, namun tetap menolak segala bentuk agitasi yang menyesatkan masyarakat. Indonesia bukan sedang dilanda kecemasan, melainkan sedang bergerak maju. Pemerintah hadir dengan data, solusi nyata, dan arah pembangunan yang terstruktur demi menciptakan masa depan bangsa yang inklusif, adil, dan berdaulat.



