Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi terkait pembagian kuota haji tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, khususnya pembagian tambahan kuota secara merata antara haji reguler dan haji khusus yang dinilai tidak sesuai dengan regulasi.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan pihaknya tengah menelusuri siapa pihak yang pertama kali mengusulkan skema pembagian 50 persen untuk kuota haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
“Siapa yang punya ide untuk membagi 50 persen, 50 persen? Karena kan sebetulnya sudah ada di undang-undangnya jelas disebutkan bahwa 92 persen, dan 8 persen,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/9) malam.
Asep juga mengungkapkan bahwa penyidik KPK tengah menelisik inisiator permintaan uang dari penjualan kuota haji khusus, termasuk alur distribusinya dan kepada siapa saja dana tersebut diserahkan.
“Kemudian siapa yang punya inisiatif untuk meminta sejumlah uang? Berapa besarannya? Kemudian kepada siapa saja uang ini dibagikan? Dikumpulkan dari siapa dan diberikan kepada siapa? Itu yang sedang kami dalami,” jelasnya.
KPK secara resmi mengumumkan dimulainya penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji 2023–2024 pada 9 Agustus 2025. Pengumuman tersebut disampaikan setelah pemeriksaan terhadap mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.
Tak lama berselang, lembaga antirasuah itu juga menyampaikan bahwa mereka tengah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini.
Pada 11 Agustus 2025, KPK merilis estimasi awal kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp1 triliun. Tiga orang dicegah untuk bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut.
Skema pembagian kuota haji tambahan secara merata antara haji reguler dan khusus menjadi sorotan utama, baik dari KPK maupun Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI. DPR menilai kebijakan pembagian 10.000 kuota tambahan untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara tegas menyatakan bahwa alokasi kuota haji adalah 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus.
Langkah yang diambil Kementerian Agama saat itu dianggap mengabaikan amanat undang-undang, serta membuka peluang praktik korupsi dalam pengelolaan kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi. (*)