Jakarta, Suarabersama.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi permintaan amnesti yang dilontarkan eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer alias Noel, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menekankan pentingnya menjaga esensi penegakan hukum agar tetap memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. “Kita penting melihat kembali esensi penegakan hukum yang memberikan efek jera para pelakunya dan rasa keadilan bagi masyarakat. Penegakan hukum yang serius juga sekaligus menjadi cermin komitmen negara dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Selain fokus pada penindakan, KPK juga menegaskan perlunya langkah pencegahan agar praktik serupa tidak kembali terjadi di sektor ketenagakerjaan. “Fakta-fakta masih terbukanya celah terjadinya korupsi dalam pelayanan publik khususnya pada sektor ketenagakerjaan ini juga harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pencegahannya,” lanjut Budi.
Sebelumnya, Noel sempat menghebohkan publik dengan permintaannya agar Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti. Permintaan itu ia sampaikan saat digelandang menuju mobil tahanan KPK pada Jumat (22/8). “Doakan saya, semoga saya mendapat amnesti dari Presiden Prabowo,” kata Noel sambil bergelantungan di mobil tahanan.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 11 tersangka, termasuk Noel. Mereka ditahan selama 20 hari pertama, sejak 22 Agustus hingga 10 September 2025 di Rutan KPK Gedung Merah Putih.
Dari hasil penyidikan, para tersangka diduga mengumpulkan dana hasil pemerasan hingga Rp81 miliar. Uang tersebut dibagi ke sejumlah pihak, dengan Irvian Bobby Mahendro menerima bagian terbesar senilai Rp69 miliar. Noel sendiri diduga menerima Rp3 miliar serta satu unit motor sport Ducati.
KPK mengungkap kasus ini telah berjalan sejak 2019. Biaya resmi pengurusan sertifikat K3 sebesar Rp275.000 diduga dipatok hingga Rp6 juta melalui modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan menolak permohonan dari pihak yang menolak membayar lebih.
(HP)