Jakarta, Suarabersama.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami rekening penampungan serta besaran uang yang dipungut secara ilegal dalam pengurusan izin kerja untuk tenaga kerja asing (TKA). Hal ini dilakukan melalui pemeriksaan terhadap lima orang saksi pada Senin (16/6).
“Semuanya didalami terkait dengan besaran permintaan uang kepada para agen TKA dan rekening penampungan (uang pemerasan, red.) yang digunakan tersangka,” ungkap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi oleh ANTARA dari Jakarta pada Selasa.
Beberapa saksi yang diperiksa terdiri dari Eden Nurjaman, seorang wiraswasta; Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada masa jabatan Menakertrans Erman Soeparno; dan Muller Silalahi, yang dikenal sebagai pensiunan ASN Kemenaker dan juga dikenal sebagai Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Dua saksi lainnya adalah pejabat fungsional di Direktorat Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemenaker periode 2023-2025, yaitu Jadi Erikson Pandapotan Sinambela, serta Direktur Utama PT Dienka Utama, Barkah Adi Santosa.
Pada 5 Juni 2025, KPK mengumumkan identitas delapan tersangka dalam kasus pemerasan terkait pengurusan RPTKA di Kemenaker. Mereka adalah ASN bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
KPK menyatakan bahwa selama rentang waktu 2019 hingga 2024, para tersangka berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp53,7 miliar dari praktik pemerasan dalam pengurusan RPTKA.
Diketahui bahwa RPTKA merupakan dokumen wajib yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar bisa bekerja secara legal di Indonesia.
Jika RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, proses penerbitan izin kerja dan izin tinggal menjadi terhambat, sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Kondisi inilah yang memaksa para pemohon RPTKA memberikan uang suap kepada para tersangka.
Selain itu, KPK mengungkap bahwa praktik pemerasan pengurusan RPTKA ini diduga sudah berlangsung sejak masa jabatan Cak Imin sebagai Menakertrans periode 2009–2014, kemudian berlanjut pada era Hanif Dhakiri (2014–2019), dan Ida Fauziyah (2019–2024).