Jakarta, Suarabersama.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kesempatan kepada jamaah haji tahun 1445 H atau 2024 M untuk turut berpartisipasi sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama. Lembaga antirasuah menyebut, informasi dari masyarakat bisa memperkaya proses penyidikan yang tengah berjalan.
“Bisa disampaikan melalui saluran pengaduan masyarakat,”ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (18/8/2025).
Menurut keterangan di situs resmi KPK, pelaporan bisa dilakukan melalui beberapa saluran resmi. Masyarakat dapat membuat laporan melalui laman https://kws.kpk.go.id/, menghubungi call center 198, atau mengirim email ke pengaduan@kpk.go.id.
“Informasi ini bisa menjadi pengayaan bagi proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK,”jelas Budi.
Sebelumnya, Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan bahwa lembaganya sangat memerlukan keterangan dari para jamaah haji tahun 1445 H/2024 M untuk mendukung proses penyidikan yang telah dimulai sejak 9 Agustus 2025.
Asep menjelaskan, saksi yang dibutuhkan antara lain adalah jamaah yang mendaftar untuk haji khusus namun mendapatkan pelayanan haji reguler, serta mereka yang mengambil jalur furoda namun menerima layanan haji khusus atau bahkan reguler.
Sebelumnya, mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah dipanggil KPK pada 7 Agustus 2025 untuk memberikan keterangan dalam tahap awal penyelidikan. Beberapa hari kemudian, KPK secara resmi menyatakan kasus ini naik ke tingkat penyidikan.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan bahwa nilai awal kerugian negara dalam perkara ini diperkirakan melampaui Rp1 triliun. Selain itu, tiga pihak telah dicegah ke luar negeri, salah satunya mantan Menag Yaqut.
Di luar KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga mengklaim telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan haji 2024, terutama dalam pembagian tambahan kuota 20.000 jemaah yang berasal dari pemerintah Arab Saudi. Saat itu, kuota dibagi rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Praktik tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan bahwa kuota haji khusus hanya 8 persen dari total, sementara 92 persen dialokasikan untuk haji reguler. (*)



