Jakarta, Suarabersama.com – Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, melakukan kunjungan ke kompleks Masjid al-Aqsa yang terletak di Yerusalem dan melaksanakan doa di lokasi tersebut. Aksi ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah berlangsung selama beberapa dekade terkait dengan salah satu situs paling sensitif di kawasan Timur Tengah.
Foto dan video yang beredar memperlihatkan Ben-Gvir memimpin doa bagi komunitas Yahudi di kompleks tersebut, yang oleh kalangan Yahudi disebut sebagai Temple Mount, yang berada di wilayah Yerusalem Timur yang diduduki. Aktivitas tersebut melanggar perjanjian yang telah lama berlaku, di mana orang Yahudi diperbolehkan untuk mengunjungi situs tersebut, tetapi dilarang melakukan ritual doa.
Pemerintah Israel melalui kantor perdana menteri menyampaikan tidak ada perubahan dalam kebijakan negara itu untuk mempertahankan status quo, yakni hanya membolehkan ibadah umat Muslim di lokasi tersebut.
Turki secara terbuka mengutuk keras insiden yang terjadi di Masjid Al-Aqsa pada hari Minggu, di mana sejumlah menteri Israel beserta kelompok pemukim, dan dikawal oleh aparat keamanan Israel, memasuki area tersebut.
Dalam unggahan di platform X, Kementerian Luar Negeri Turki menegaskan bahwa menjaga keutuhan spiritual Masjid Al-Aqsa dan karakter suci Yerusalem bukan hanya menjadi urusan kawasan semata, melainkan sebuah tanggung jawab global atas dasar “hati nurani kolektif umat manusia.”
“Provokasi sistematis oleh kekuatan pendudukan Israel ini, bersama dengan seruan aneksasi baru-baru ini, menargetkan fondasi solusi dua negara dan sangat merusak aspirasi perdamaian,” demikian isi pernyataan itu, dikutip oleh Anadolu pada Senin, 4 Agustus 2025.
Yordania, yang memiliki mandat sebagai penjaga situs, menyebut kunjungan Ben-Gvir baru-baru ini sebagai “provokasi yang tidak dapat diterima.”
Kelompok Hamas menyebut peristiwa itu sebagai indikasi lebih jauh dari “mendalamnya agresi yang sedang berlangsung terhadap rakyat Palestina kami,” sementara juru bicara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menilai kunjungan tersebut sebagai tindakan yang “melewati semua batas merah.”
Situs tersebut memiliki nilai religius tinggi, dianggap paling suci bagi umat Yahudi karena dipercaya sebagai lokasi dua kuil dalam kitab suci mereka. Bagi umat Muslim, tempat ini merupakan situs tersuci ketiga setelah Mekah dan Madinah karena diyakini menjadi lokasi di mana Nabi Muhammad melakukan perjalanan Mi’raj ke langit.
Kompleks ini direbut oleh Israel dari tangan Yordania dalam konflik Timur Tengah tahun 1967. Berdasarkan status quo yang berlaku, Yordania tetap menjalankan fungsi historisnya sebagai pengelola situs, sementara Israel memegang kendali atas keamanan dan akses masuk.
Pihak Palestina mengklaim bahwa Israel secara perlahan berusaha mengubah pengaturan yang ada. Mereka mengeluhkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah pengunjung Yahudi yang melakukan doa tanpa adanya tindakan pencegahan dari pihak keamanan Israel.
Menurut Waqf, lembaga pengelola situs keagamaan Islam, Ben-Gvir termasuk di antara 1.250 warga Yahudi yang memasuki kompleks pada Minggu pagi tersebut.
Ben-Gvir, yang dikenal sebagai tokoh ultra-nasionalis sekaligus menteri yang membawahi kepolisian, diketahui telah mengunjungi situs ini sebelumnya. Namun, menurut laporan dari Times of Israel, ini adalah kali pertama ia secara terbuka melaksanakan doa di lokasi tersebut.
Dalam kunjungan tersebut, ia dikawal oleh aparat kepolisian ketika memasuki dan meninjau kawasan suci itu.
Dalam pernyataannya di lokasi, Ben-Gvir merespons beredarnya video “mengerikan” para sandera yang baru dibebaskan oleh Hamas—yang menurutnya tampak dalam kondisi mengenaskan—dengan menyebut video itu sebagai upaya tekanan terhadap Israel, serta menyerukan agar para sandera segera dipulangkan.
Ia juga kembali menyerukan agar Israel mengambil kendali penuh atas seluruh wilayah Jalur Gaza dan mendorong apa yang ia sebut sebagai “emigrasi sukarela” warga Palestina dari area tersebut.
Menurut para pakar, rencana tersebut dapat dikategorikan sebagai pemindahan paksa penduduk sipil dan berpotensi diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Inggris telah memberikan sanksi kepada Ben-Gvir atas “hasutan berulang untuk melakukan kekerasan terhadap komunitas Palestina” di wilayah Tepi Barat yang diduduki.



