Suara Bersama

Kontroversi Empat Pulau: Ketegangan Administratif antara Aceh dan Sumatera Utara

Aceh, Suarabersama – Seorang akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Prof. Humam Hamid, menyatakan penolakannya terhadap keputusan pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara, tepatnya Kabupaten Tapanuli Tengah. Menurutnya, langkah ini didorong oleh pendekatan teknokratik yang mengabaikan dimensi sejarah dan sosial masyarakat lokal.

Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Alasan yang dikemukakan adalah untuk keperluan pendataan nama pulau secara resmi di tingkat internasional. Namun, tidak adanya kesepakatan antara pemerintah Aceh dan Sumatera Utara menjadi alasan utama pemerintah pusat mengambil keputusan sepihak.

Humam menekankan bahwa secara historis keempat pulau tersebut dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil. Ia menunjuk berbagai infrastruktur yang dibangun menggunakan anggaran daerah Aceh serta merujuk pada peta topografi milik TNI AD yang memasukkan wilayah tersebut ke dalam zona Aceh.

Ia menyesalkan bahwa pengambilan keputusan terkesan mengabaikan rekam jejak kesepakatan masa lalu, termasuk pertemuan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu. Kesepakatan tersebut menegaskan pentingnya koeksistensi administratif, bukan tumpang tindih klaim.

Sementara itu, berdasarkan catatan sejarah, tidak pernah ada masalah besar terkait klaim atas empat pulau tersebut hingga munculnya keputusan administratif terbaru. Dalam proses pembakuan nama pulau pada 2008, pemerintah pusat tidak mencantumkan keempat pulau ini sebagai bagian dari wilayah Aceh, yang memicu perdebatan lanjutan.

Survei faktual pada 2022 mengungkap bahwa keempat pulau itu tidak berpenghuni, namun terdapat berbagai fasilitas umum yang dibangun oleh pemerintah Aceh, termasuk musala, dermaga, dan tugu perbatasan. Pulau Lipan bahkan dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pulau karena hanya berupa hamparan pasir, sesuai ketentuan UNCLOS.

Akademisi dari IAIN Langsa, Muhammad Alkaf, menilai sengketa ini memantik memori lama masyarakat Aceh yang pernah bergolak dalam konflik separatis. Ia menyebut keputusan pusat ini sebagai bentuk ketidaksensitifan terhadap sejarah dan emosi kolektif masyarakat setempat yang telah berkompromi melalui otonomi khusus.

Di sisi lain, budayawan Azhari Aiyub menyayangkan ketidaksiapan pemerintah Aceh dalam menjaga wilayahnya. Menurutnya, perhatian pemerintah daerah masih terlalu tersedot pada urusan internal, sementara Sumatera Utara tampil lebih terorganisir dan mendapatkan dukungan kuat secara politik, terutama karena kedekatan pejabatnya dengan pusat kekuasaan.

Polemik ini membuka kembali diskusi tentang pentingnya rekonsiliasi antara data teknis dan realitas historis dalam pengambilan kebijakan batas wilayah. Pemerintah pusat didesak untuk meninjau ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan fakta sejarah, sosial, dan kultur lokal.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − two =