Suara Bersama

Konflik bersenjata TNI-Polri dengan TPNPB-OPM meningkat akibatkan ribuan warga mengungsi di Papua

suarabersama.com-Meningkatnya konflik bersenjata yang melibatkan aparat TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Keuskupan Timika melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) menggelar konferensi pers, pada Selasa (22/07/2025) terkait dengan situasi keamanan di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika.

“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang semakin hari semakin memburuk di tanah Papua, khususnya terkait dengan konflik bersenjata yang terus berlangsung antara aparat keamanan negara dan pejuang Papua merdeka di sejumlah wilayah pastoral Keuskupan Timika,” ucap Saul Wanimbo dan Rudolf Kambayong, perwakilan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika, di Timika, Kab. Mimika, Provinsi Papua Tengah, Rabu (23/07/2025).

Saul Wanimbo, menyatakan bahwa hingga saat ini eskalasi konflik bersenjata atau perang semakin meningkat dan mengancam kehidupan masyarakat sipil di tanah Papua, khususnya di wilayah pastoral Keuskupan Timika seperti di Kabupaten Intan Jaya, Puncak dan sesekali di Kabupaten Paniai, Dogiyai dan Deiyai.“Semakin meningkatnya eskalasi konflik bukan hanya karena operasi militer, perang dengan strategi ‘membumi hanguskan’ perkampungan warga sipil. Eskalasi itu terutama juga karena aparat keamanan menggunakan persenjataan modern dan canggih dengan daya ledak tinggi dengan jangkauan lebih luas,” ucap Saul.

Saul menambahkan, penggunaan persenjataan modern dimaksud seperti pesawat tempur, mortir, bom dan drone. Persenjataan modern tersebut tidak hanya menyasar anggota TPNPB-OPM tetapi menyasar pemukiman dan ruang-ruang sipil seperti perkampungan, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, Gereja dan rumah petugas Gereja, kebun, kandang ternak warga dan tempat-tempat lain dimana masyarakat sipil beraktivitas sehingga masyarakat sipil terperangkap di tengah konflik bersenjata.

Saul mengungkapkan, baru-baru ini serangan terjadi di Kampung Tuanggi I, Distrik Gome Utara, Kabupaten Puncak. Kemudian pada (12/05/2025) lalu terjadi serangan terhadap empat warga sipil di Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya mengakibatkan salah seorang warga sipil gangguan jiwa (ODGJ) meninggal dunia.

“Perang antara TNI-Polri dengan TPNPB-OPM sudah cukup lama dan memakan banyak korban jiwa. Korban bukan hanya pihak yang berkonflik tetapi juga warga sipil.  Ini membuat ribuan warga sipil ketakutan sehingga lari meninggalkan rumah, kebun, ternak piaraan dan pekerjaan sehari-hari mencari tempat aman untuk mengungsi,” ujar Saul.

Saul menjelaskan, saat ini masih banyak warga sipil berada di tempat pengungsian, baik di kabupaten yang dilanda konflik atau mengungsi ke kabupaten lain yang dianggap lebih menjamin keamanannya. Data yang diperoleh Keuskupan Timika, bahwa jumlah pengungsi dari Puncak sebanyak 4.469 jiwa. “Ribuan warga yang mengungsi tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak dan Distrik Yugumoak. Sedangkan pengungsi di Intan Jaya sebanyak 1.231 jiwa tersebar di Kampung Sugapa Lama, Desa Hitadipa, Kampung Janamba, Desa Sanaba, Kampung Jalinggapa dan Kampung Titigi,” jelas Saul.

Lebih miris, akibat konflik bersenjata tersebut tercatat sekitar 216 anak di Kabupaten Puncak tidak mengikuti kegiatan belajar di kelas. Mereka terdiri dari 109 orang anak Sekolah Dasar (SD) dan 107 orang anak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jumlah tersebut belum termasuk anak korban pengungsi yang telah keluar dari wilayahnya mencari tempat aman seperti di Kabupaten Nabire dan Mimika.

Sementara pasukan TNI-Polri terus dikirim ke daerah-daerah konflik di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika dengan membuka Pos-Pos baru di tengah pemukiman warga yang tersisa, turut menimbulkan teror dan trauma mendalam bagi warga sipil dan pengungsi yang sudah semakin tidak berdaya.

“Pihak Gereja yang selalu berjalan bersama dan bergumul bersama umat tentang iman dan situasinya, menyaksikan konflik, penderitaan umat beriman dengan ‘budaya kematian’. Kami tegaskan bahwa selain isu politik Papua merdeka, investasi pertambangan juga menjadi latar belakang terjadinya konflik berkepanjangan hingga saat ini,” Ujar Saul.

Investasi akan membawa dampak negatif lebih luas seperti laju deforestasi dan degradasi kualitas lingkungan hidup mengingat hampir pasti terjadi pembabatan hutan, rusaknya ekosistem dan menambah buruknya iklim. Bahkan lebih lagi, masyarakat pemilik hak ulayat dipastikan akan kehilangan hak-hak dasar mereka terutama hak hidup di atas tanah leluhurnya.

Dalam konferensi persnya, pihak Keuskupan Timika menyampaikan beberapa hal penting kepada pemerintah dan pihak yang berkonflik di wilayah pastoral Keuskupan Timika.

Pertama, kepada aparat keamanan dan pihak TPNPB OPM yang mengangkat senjata untuk segera melakukan jeda kemanusiaan, meletakkan senjata, menciptakan zona tanpa perang demi adanya pertolongan kemanusiaan bagi masyarakat sipil yang mengungsi di berbagai tempat.

Kedua, agar negara menjamin perlindungan hak-hak dasar masyarakat sipil, khususnya para pengungsi akibat konflik sesuai dengan amanat konstitusi  dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Ketiga, kepada aparat keamanan dan TPNPB OPM agar menghentikan pertikaian di perkampungan warga atau dekat dengan pemukiman warga sipil dan menjamin perlindungannya sesuai dengan hukum Humaniter Internasional  dan UU TNI-Polri, yakni UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 Tahun 2002.

Keempat, kepada aparat keamanan agar menghentikan kebijakan militeristik terhadap warga sipil di kamp pengungsian, termasuk pelarangan berkebun dan wajib lapor yang mengekang kebebasan para pengungsi. Karena kebijakan seperti ini mengancam ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup para pengungsi yang saat ini hidup penuh keterbatasan sandang dan pangan.

Kelima, agar negara segera melakukan jeda investasi di seluruh Tanah Papua, meninjau kembali proses-proses dengan masyarakat pemilik hak ulayat, meninjau kembali semua izin-izin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan kepada investor yang berpotensi merusak alam dan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat pribumi Papua.

Keenam, kepada pemerintah pusat, provinsi, dan daerah agar sungguh-sungguh hadir dan menjalankan fungsi pelayanan publik secara maksimal kepada semua warga masyarakat dan secara khusus kepada para pengungsi, termasuk penyediaan bantuan kemanusiaan dan pemulihan sosial.

Ketujuh, kepada pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, pihak TPNPB OPM, TNI-Polri agar bersama-sama berupaya mencari pendekatan penyelesaian konflik yang lebih beradab, bermartabat, dan manusiawi serta kepada semua pihak harus bersedia berdialog melalui mediasi pihak ketiga yang netral.

“Kami pihak Gereja Katolik Keuskupan Timika percaya, dengan kemauan baik negara dan semua pihak terkait, situasi kemanusiaan di tanah Papua khususnya Provinsi Papua Tengah yang terus memburuk dan secara khusus di Intan Jaya dan Puncak dapat dipulihkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membantu dan memberkati upaya-upaya kita bersama ke depan,” harap Saul.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × four =