Jakarta, Suarabersama.com – Keluarga besar Prada Lucky Chepril Saputra Namo mendesak agar seluruh anggota TNI yang diduga terlibat dalam aksi penganiayaan segera dipecat dan dijatuhi hukuman berat, termasuk hukuman mati.
Prada Lucky, prajurit TNI Angkatan Darat yang bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere (Yon TP 834/WM), Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, meninggal dunia diduga akibat penganiayaan oleh senior-seniornya di dalam asrama.
“Hukuman cuma dua buat (pelaku penganiayaan) anak saya, hukuman mati dan pecat (bagi para pelaku), tidak ada di bawah itu,” kata ayah korban, Serma Kristian Namo, saat ditemui di Terminal Cargo Bandara El Tari Kupang pada Kamis (7/8).
Serma Kristian, yang juga seorang anggota aktif TNI dan bertugas di Kodim 1627 Rote Ndao, menyatakan bahwa anaknya menjadi korban kekerasan oleh rekan-rekannya sesama prajurit.
“Dia (korban) meninggal, akan dapat dia punya balasan bagi manusia yang siksa dia akan dapat balasan lebih, saya sumpah, saya juga tentara, saya pertaruhkan nyawa (saya) untuk dia (korban),” ujarnya penuh emosi.
Sebagai seorang ayah sekaligus anggota TNI, ia bersumpah untuk terus memperjuangkan keadilan bagi putranya. Ia menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan, tidak peduli siapa yang terlibat.
“Saya tuntut keadilan, kalau bisa semua dihukum mati biar tidak ada Lucky-Lucky yang lain, anak tentara aja dibunuh apalagi yang lain,” lanjutnya saat ditemui di kamar jenazah RS Wirasakti Kupang.
Ibunda almarhum, Sepriana Paulina Mirpey, juga menyuarakan tuntutan yang sama agar kasus ini diusut tuntas dan semua pelaku dihukum seberat-beratnya.
“Proses mereka, pecat, bila perlu hukuman mati,” ujarnya lirih sambil menangis saat ditemui di rumah duka pada Jumat (8/8).
Ia mengenang bahwa putranya telah delapan kali mengikuti tes untuk menjadi anggota TNI, dan baru dua bulan berdinas sebelum mengalami nasib tragis tersebut. Ia menyatakan penyesalannya karena pernah mendukung sang anak masuk TNI.
“Kalau (para pelaku) tidak diproses, lebih baik bunuh saya saja, saya sakit hati kalian buat anak saya seperti ini,” ujarnya penuh kesedihan.
Sepriana menyebut mendapat informasi bahwa pelaku penganiayaan berjumlah sekitar 20 orang, bukan hanya empat seperti yang sempat diberitakan.
“(Informasi) Ada 20 orang semua, bukan empat orang saja,” katanya.
Ia juga menceritakan kondisi mengenaskan anaknya saat dirawat di ICU RSUD Aeramo. Prada Lucky disebut mengalami luka-luka lebam di seluruh tubuh.
“(Luka Lebam) di tangan, kaki, di badan di belakang semua ada (luka bebam),” ungkapnya.
Sepriana menyampaikan bahwa korban sempat berlari meminta pertolongan ke rumah ibu angkatnya usai mendapatkan cambukan dan penganiayaan.
“Setahu saya dia waktu minta tolong ke mama angkatnya waktu dia kena pukul pertama, dicambuk itu, dia bilang mama saya dicambuk dia lari ke bawah ke rumah mama angkatnya itu badannya hancur semua dari tangan dua-dua, kaki, belakang, mama angkatnya masih kompres, gosok minyak,” kenangnya.
Ia menegaskan bahwa korban telah menyebut nama-nama senior yang diduga menjadi pelaku penganiayaan.
“(Yang melakukan) dia bilang dia punya senior dia sebut namanya (menyebut beberapa nama) dia bilang begitu, mama saya di pukul di pukul sama (menyebut nama orang) dan senior-senior yang lain,” tambahnya.
Tuntutan keadilan juga disuarakan oleh bibi korban, Mesike Namoh, dan neneknya, Yo Suprapto. Yo menyatakan bahwa keluarga mereka memiliki banyak anggota yang menjadi tentara, namun baru kali ini mengalami peristiwa yang sangat menyayat hati.
Ia menegaskan tidak akan lagi mengizinkan keturunan mereka menjadi anggota TNI apabila kekerasan semacam ini masih terus terjadi.
“Lucky ini keturunannya mulai dari kakek, bapaknya, dan juga om-omnya (paman) tentara, ini sungguh menyakitkan. Ini sangat sakit, sungguh tidak menyangka mereka tega pukul ini anak sampai mati,” ucapnya saat ditemui di rumah duka pada Sabtu (9/8).
Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) mengembuskan napas terakhir pada Rabu (6/8), usai menjalani perawatan intensif selama empat hari di ruang ICU RSUD Aeramo akibat luka-luka yang diduga berasal dari penganiayaan. (*)



