Suara Bersama

Kawin Lari dan Pernikahan Dini di NTB: KPAI Minta Tindakan Tegas Pemerintah

Jakarta, Suarabersama.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan keprihatinannya terhadap praktik pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), serta menyoroti kurangnya pemahaman masyarakat terhadap tumbuh kembang anak.

“Secara faktor, yang pertama memang secara adat istiadat masih tinggi. Ini yang menjadi pegangan oleh masyarakat. Kemudian, ada juga faktor pemahaman agama, ‘Daripada berzina lebih baik dinikahkan’,” kata Komisioner KPAI, Ai Rahmayanti, saat ditemui di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (26/5/2025).

Rahmayanti menjelaskan bahwa NTB termasuk dalam daftar provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang tinggi di Indonesia. Meski telah memiliki peraturan daerah yang mengatur pencegahan perkawinan anak, menurutnya aturan tersebut belum cukup kuat untuk memberi efek jera.

“Namun (perda itu) tidak mengandung sanksi, kemudian juga tidak ada komitmen anggaran dari pemerintah daerah,” ujar Rahmayanti.

KPAI pun mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi regulasi tersebut, sekaligus meminta para pemangku kepentingan di daerah agar melakukan advokasi revisi perda terkait pencegahan pernikahan dini.

“Tentu cantolan regulasinya sudah banyak ya. Ada di Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, kemudian ada juga di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS,” sambungnya.

Dalam kasus yang menjadi sorotan, seorang pengantin perempuan berusia 15 tahun yang masih berstatus pelajar SMP menikah dengan laki-laki berusia 17 tahun yang telah putus sekolah sejak kelas 2 SMK.

Kepala Dusun Petak Daye I, Desa Beraim, Praya Tengah, NTB, Syarifudin, turut menyampaikan permintaan maaf atas ramainya perbincangan publik mengenai video viral pernikahan anak di daerahnya.

“Saya sebagai Kepala Dusun memohon maaf atas kegaduhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun sudah kita berupaya semaksimal mungkin, namun apalah daya kami,” kata Syarifudin saat ditemui di rumahnya, Sabtu (24/5/2025).

Meski pasangan remaja tersebut sempat dipisahkan, pengantin pria kembali membawa kabur pengantin perempuan, yang menurut adat lokal disebut sebagai tradisi merariq. Mereka sempat menghilang selama dua hari dua malam di Pulau Sumbawa sebelum akhirnya menikah dengan restu kedua orang tua pada awal Mei 2025.

Syarifudin mengakui bahwa praktik kawin lari atau kawin culik masih mengakar kuat di kalangan masyarakat pedesaan di Lombok. Pengacara dari pihak keluarga perempuan,

Muhaman, menjelaskan bahwa dalam adat Sasak, jika perempuan telah dilarikan lebih dari satu hari dan menyatakan siap menikah, maka orang tua merasa berkewajiban untuk menikahkan mereka.

“Menjadi kewajiban kami sebagai orangtua untuk jalan satu-satunya harus dinikahkan karena untuk menghidari ada fitnah dan lain sebagainya,” tutur Muhaman, Minggu (25/5/2025).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × five =