Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa mereka menemukan informasi terkait dugaan praktik jual beli kuota haji milik petugas kesehatan pada penyelenggaraan haji tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi.
“Penyidik juga menemukan adanya dugaan kuota-kuota haji yang seharusnya diperuntukkan untuk petugas ya, seperti petugas pendamping, kemudian petugas kesehatan, ataupun pengawas, dan juga administrasi itu ternyata juga diperjualbelikan kepada calon jemaah,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa.
Menurut Budi, tindakan jual beli kuota haji yang seharusnya diperuntukkan bagi petugas telah menyalahi aturan yang berlaku. Ia juga menekankan bahwa praktik tersebut berpotensi menurunkan kualitas layanan bagi jemaah haji.
“Misalnya, yang seharusnya jatahnya petugas kesehatan yang akan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan kesehatan dari para calon jemaah ini, tetapi kemudian diperjualbelikan kepada calon jemaah lain. Artinya, ada petugas kesehatan yang berkurang jumlahnya,” imbuhnya.
Sebelumnya, pada tanggal 9 Agustus 2025, KPK secara resmi mengumumkan telah memulai penyidikan atas dugaan korupsi dalam proses penetapan kuota dan penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama untuk periode 2023–2024.
Langkah ini diambil setelah KPK memintai keterangan dari mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam tahap penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.
Dalam proses tersebut, KPK juga menyatakan tengah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI guna menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat penyimpangan dalam pengelolaan kuota haji.
Pada 11 Agustus 2025, lembaga antirasuah ini menyampaikan bahwa estimasi awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai lebih dari Rp1 triliun. Selain itu, KPK juga mencegah tiga individu untuk bepergian ke luar negeri, termasuk mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Lalu, pada 18 September 2025, KPK mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan sekitar 13 asosiasi serta 400 biro perjalanan haji dalam kasus yang tengah diusut tersebut.
Tidak hanya KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga sebelumnya mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam proses penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Salah satu sorotan utama dari pansus adalah pembagian kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi yang dibagi 50:50, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Pembagian tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menyatakan bahwa kuota haji khusus seharusnya hanya sebesar 8 persen, sedangkan kuota reguler sebanyak 92 persen. (*)