suarabersama.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menyusun strategi diplomasi ekonomi untuk meredam potensi tekanan tarif dari Amerika Serikat (AS). Salah satu langkah utama yang ditempuh adalah meningkatkan impor energi dari Negeri Paman Sam senilai USD10 miliar, mencakup minyak mentah dan gas elpiji (LPG).
Hal ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelang agenda negosiasi perdagangan bilateral di Washington, yang dijadwalkan berlangsung minggu ini.
Upaya Hindari Tarif 32 Persen
Delegasi Indonesia akan berupaya menegosiasikan penghapusan atau penundaan rencana tarif sebesar 32 persen yang diberlakukan AS terhadap sejumlah komoditas ekspor Tanah Air. Sebagai bagian dari kompromi, Indonesia menargetkan untuk membeli produk-produk AS senilai total USD18 hingga USD19 miliar.
“Sebagai bagian dari upaya itu, kami mendorong peningkatan pembelian LPG dan minyak mentah dari AS,” ujar Bahlil, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (16/4).
Perubahan Arah Impor
Direktur Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi menyesuaikan peta impor energinya dengan mengurangi ketergantungan pada pemasok non-AS sebesar 20 hingga 30 persen. Hal ini tentunya tergantung pada fleksibilitas kontrak yang saat ini berjalan.
Data menunjukkan, sepanjang 2024, Indonesia mengimpor sekitar 217 ribu barel LPG per hari. Dari jumlah itu, sekitar 124 ribu barel per hari dipasok oleh AS, disusul Qatar dengan 23 ribu barel per hari, dan negara-negara Teluk lainnya seperti UEA dan Arab Saudi.
Untuk minyak mentah, impor Indonesia tahun lalu mencapai 306 ribu barel per hari, mayoritas berasal dari Nigeria, Arab Saudi, dan Angola. Sementara dari AS, hanya sekitar 13 ribu barel per hari yang dibeli.
Menanti Arah Pemerintah
Juru bicara Pertamina menyatakan bahwa perusahaan saat ini tengah mengevaluasi kebijakan impornya dan siap menyesuaikan dengan arahan resmi pemerintah terkait perubahan skema pasokan energi.
Langkah ini diyakini tidak hanya akan membantu Indonesia menghindari dampak negatif kebijakan tarif AS, tetapi juga mempererat kemitraan energi strategis antara Jakarta dan Washington.
“Kita harap kerja sama ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok energi global,” pungkas Bahlil.



