Jakarta, Suarabersama – Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan, mengingatkan para pelaku usaha Indonesia untuk berhati-hati dalam menjalankan transaksi perdagangan dengan pihak Bangladesh. Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, Iskandar Panjaitan, menyampaikan imbauan ini sebagai tindak lanjut atas informasi dari Duta Besar RI di Dhaka melalui surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 terkait perkembangan situasi ekonomi di Bangladesh setelah pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina dan potensi masalah transaksi perbankan. “Melihat situasi terkini di Bangladesh, terutama di sektor ekonomi setelah pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina, kami mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam bertransaksi dengan pihak dari Bangladesh. Ini penting untuk menghindari potensi kerugian yang bisa timbul dari transaksi perbankan di tengah kondisi politik dan ekonomi yang sedang berlangsung,” ujarnya dalam keterangan yang disampaikan pada Kamis (12/9/2024).
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Bangladesh tengah menghadapi krisis likuiditas yang diperparah dengan pembatasan penarikan tunai dari bank sentral Bangladesh, Bank Bangladesh. Kondisi ini disertai dengan inflasi yang mencapai 11,66% serta tekanan nilai tukar mata uang yang mencapai titik terendah dalam 12 tahun terakhir. Di sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) tengah mengalami beban utang senilai BDT 45 ribu crore atau sekitar USD 4 miliar. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan sementara yang baru terbentuk.
Bangladesh Bank juga telah mengeluarkan instruksi kepada sembilan bank untuk membatasi pencairan cek yang melebihi BDT 200 ribu atau sekitar USD 1.680. Kesembilan bank tersebut adalah Islami Bank Bangladesh, First Security Islami Bank, Social Islami Bank, Union Bank, Global Islami Bank, Bangladesh Commerce Bank, National Bank, Padma Bank, dan ICB Islami Bank. Selain itu, Bangladesh Bank juga menetapkan batas penarikan tunai sebesar BDT 200 ribu per akun per hari untuk mencegah penyalahgunaan uang tunai untuk kegiatan ilegal.
Sebagai respon terhadap kondisi ini, Kemendag memberikan sejumlah saran langkah antisipatif bagi pelaku usaha Indonesia. Pertama, mendiversifikasi produk, khususnya produk tahan lama, serta menggunakan metode pembayaran yang aman guna menghindari risiko gagal bayar atau keterlambatan pembayaran. Kedua, menggunakan perlindungan finansial yang memadai dalam setiap perjanjian transaksi ekspor-impor dan memilih bank terpercaya untuk mekanisme pembayaran melalui Letter of Credit (L/C). Ketiga, jika tetap menggunakan L/C, pastikan transaksi dilakukan melalui bank internasional yang memiliki cabang di Bangladesh. Keempat, di sektor energi, pelaku usaha Indonesia disarankan untuk menghentikan transaksi atau kerja sama dengan BPDB yang saat ini memiliki utang yang belum dibayar kepada pihak swasta. Selain itu, ada risiko terjadinya penundaan pembayaran bagi perusahaan Indonesia yang telah terlibat dalam memenuhi kebutuhan energi di Bangladesh.