Suara Bersama

Gelar mimbar bebas, mahasiswa Intan Jaya kecam aparat keamanan atas tewasnya warga sipil

suarabersama.com-Mahasiswa Intan Jaya yang tergabung dalam Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya atau KOMISI, menggelar mimbar bebas di halaman Asrama Intan Jaya, Buper Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (24/05/2025).

Dalam mimbar bebas itu, mahasiswa mengecam pembunuhan yang diduga dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri terhadap warga sipil saat kontak senjata antara aparat keamanan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua Tengah.

Salah satu orator mimbar bebas, Marthen Weya menyatakan beberapa kejadian di Intan Jaya menyebabkan terbunuhnya beberapa warga sipil. Pada 13 Mei 2025, terjadi pembunuhan terhadap Elisa Wandagau (75 tahun) yang merupakan seorang hamba Tuhan Gereja GKII Anugerah Sugapa Lama, Ruben Wandagau (35 tahun) adalah Kepala Kampung Hitadipa, Mono Takamina Tapani (40 tahun), dan Hetina Mirip (24 tahun) yang merupakan warga Kampung Sugapa Lama. “Jasad (Hetina Mirip) baru ditemukan setelah 12 hari di sekitar halaman rumahnya atau pada 23 Mei 2025,” kata Weya saat diwawancarai usai aksi mimbar bebas.

Selain itu menurut Weya, beberapa warga juga terluka ketika TNI/Polri melakukan penyisiran di Kampung Hitadipa, Titigi, Sugapa Lama, Janamba, Jaindapa, Ndugusig, Soagama. Warga yang terluka diantaranya Yubelina Kogoya (25 tahun), Nopen Wandagau (36 tahun), Minus Jegeseni (5 tahun), dan Junite Janambani (21 tahun).  Mereka terluka saat berupaya menyelamatkan diri ke hutan ketika aparat keamanan melakukan penyisiran. “Beberapa warga juga tercatat hilang dalam peristiwa itu,” ujarnya.

Sementara itu, koordinator lapangan aksi mimbar bebas, Melianus Bagau mengatakan Intan Jaya tidak pernah kondusif sejak 2018 hingga sekarang.  Berbagai situasi yang terjadi akibat konflik disana dinilai merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebab warga setempat dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dengan kekerasan hingga pengusiran paksa oleh aparat keamanan.

Kekerasan yang sering terjadi juga menyebabkan warga kehilangan hak dasar mereka seperti perumahan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, dan tidak leluasa beraktifitas.  “Situasi konflik bersenjata di Kabupaten Intan Jaya berdampak buruk, karena mengganggu berbagai sektor kehidupan rakyat disana, terutama sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang tidak stabil akibat konflik bersenjata antara Satgas Habema dan TPNPB-OPM,” kata Melianus Bagau. Situasi yang terjadi di Intan Jaya dianggap melanggar melanggar pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP dan pasal 1 angka (1) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

Wakil koordinator lapangan aksi mimbar bebas, Neles Sani menegaskan pihaknya menuntut Panglima Kodam XVII/Cenderawasih dan Kapolda Papua Tengah menarik militer organik dan non organik dari Intan Jaya.  “Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin segera menarik militer dari Kabupaten Intan Jaya. Hentikan pembangunan pos militer di area Jalan Janamba-Soagama, Distrik Hitadipa yang direncanakan oleh TNI Satgas Habema,” kata Neles Sani.

Mahasiswa juga meminta kepada Majelis Rakyat Papua Tengah, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten atau DPRK segera membentuk tim untuk menangani konflik di Intan Jaya.  “TNI/Polri hentikan pembunuhan, intimidasi dan teror terhadap warga sipil. Hentikan kriminalisasi terhadap rakyat Intan Jaya dan patuhi UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya,” ujarnya.

Kata Sani, pihaknya juga meminta operasi militer di Intan Jaya yang sering disebut operasi keamanan atau sebutan lainnya, dihentikan. Sebab, tindakan itu menyebabkan masyarakat trauma dan menyebabkan terjadi pengungsian besar-besaran oleh warga sipil.  “Kami juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Intan Jaya segera tarik kembali militer yang sedang beroperasi di Distrik Sugapa sampai Distrik Hitadipa, dan Negara Indonesia segera bertanggung jawab sesuai dengan proses hukum yang berlaku di negara ini,” ucapnya.

Sani menambahkan, pihaknya juga mendesak Gubernur Provinsi Papua Tengah, Meki Nawipa dan Wakil Gubernur Papua Tengah, Dines Geley segera menghentiakan perencanaan perizinan pertambagan di Provinsi Papua Tengah karena tidak mempertimbangkan dampak bagi rakyat, serta berbagai potensi pelanggaran HAM di Kabupaten Intan Jaya dan kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × two =