Jakarta, Suarabersama.com – Situasi politik di Nepal memanas setelah gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pembakaran gedung parlemen. Kerusuhan ini terjadi tak lama setelah Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri menyusul tindakan keras pemerintah terhadap aksi protes antipemerintah yang menewaskan sejumlah orang.
Menurut seorang pejabat setempat, para demonstran berhasil menjebol barikade dan memasuki kompleks parlemen, kemudian membakar bangunan utama.
“Ratusan orang telah menerobos area parlemen dan membakar gedung utama,” ungkap Ekram Giri, juru bicara Sekretariat Parlemen.
Laporan dari Al Jazeera mengonfirmasi kebenaran peristiwa tersebut melalui verifikasi video yang dibagikan secara daring oleh aktivis dan media lokal Nepal. Rekaman tersebut menunjukkan ribuan demonstran membanjiri jalan-jalan utama di Kathmandu, ibu kota Nepal.
Dalam laporan lain, media menyebutkan bahwa sejumlah rumah pejabat pemerintah menjadi sasaran amuk massa. Beberapa di antaranya bahkan turut dibakar.
“Tampaknya tidak ada yang bertanggung jawab di jalan-jalan ibu kota, dengan sekelompok anak muda dan penonton merusak properti para menteri senior dan kantor partai,” ujar Ramyata Limbu, seorang jurnalis Nepal yang berbasis di Kathmandu.
Ia menambahkan bahwa situasi telah memanas, dan akar kemarahan masyarakat berasal dari kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintahan.
“Penduduk Nepal, terutama generasi muda, Gen Z, sangat kecewa dengan korupsi, kurangnya transparansi, kurangnya akuntabilitas, dan kurangnya tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.
“Jadi saya pikir semua ini terjadi dalam jangka waktu tertentu, dan ketika Gen Z memutuskan pada hari Senin untuk melakukan protes damai terhadap larangan media sosial, tetapi sekali lagi, korupsi… itu menjadi pemicu, dan itu benar-benar traumatis dan saya pikir satu tragedi,” tambahnya.
Anil Baniya, anggota organisasi Hami Nepal (We Nepal) yang turut mengorganisir aksi protes, mengatakan bahwa aksi pada awalnya dirancang sebagai unjuk rasa damai yang diisi dengan kegiatan budaya dan ekspresi kegembiraan.
“Selama beberapa jam pertama, semuanya berjalan sesuai rencana, sampai beberapa kekuatan eksternal dan kader partai politik bergabung dalam protes dan menghasut angkatan bersenjata serta melempari batu,” ujar Baniya kepada Al Jazeera.
Kericuhan mulai terjadi ketika massa mulai memanjat tembok kompleks parlemen, memicu tindakan aparat keamanan.
“Apa pun yang terjadi, pemerintah seharusnya tidak menggunakan peluru. Mereka membunuh anak muda,” ujar Baniya, menyuarakan kritik tajam terhadap kekerasan aparat dan bersumpah untuk tetap melanjutkan perjuangan.
“Kita sekarang memiliki kewajiban yang lebih besar untuk memenuhi harapan teman-teman kita yang dibunuh oleh negara,” tegasnya.
“Kita perlu menggulingkan pemerintah ini, kita menuntut pengunduran diri massal, dan kita ingin mereka lengser. Ini negara kita,” pungkas Baniya.