Jakarta, Suarabersama.com – Suhu udara terasa lebih dingin pada malam hingga pagi hari di sejumlah wilayah Indonesia, meski saat ini tengah memasuki musim kemarau. Fenomena ini dikenal masyarakat sebagai bediding, atau dalam bahasa Jawa disebut mbedhidhing.
“Bediding adalah istilah lokal untuk menggambarkan suhu udara yang sangat dingin, biasanya dirasakan pada malam hingga pagi hari selama musim kemarau, khususnya pada Juli hingga Agustus,” ujar Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Ida Pramudawardani, Rabu (9/7/2025).
Fenomena ini terjadi akibat kombinasi dari minimnya tutupan awan, kelembapan udara yang rendah, serta aliran angin muson timur yang kering dan dingin dari Australia. Kondisi tersebut menyebabkan panas bumi lebih cepat terlepas ke atmosfer pada malam hari, membuat suhu udara turun tajam menjelang pagi.
Dengan langit yang cerah dan kandungan uap air yang sedikit, panas dari permukaan bumi lebih cepat terlepas ke atmosfer saat malam hari. Akibatnya, suhu udara turun drastis menjelang pagi.
Kondisi ini paling terasa di wilayah selatan Indonesia seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, di mana suhu malam hari bisa terasa jauh lebih rendah dari biasanya.
Meski pagi hingga subuh terasa dingin, BMKG mencatat suhu akan naik signifikan saat siang hari. Minimnya awan menyebabkan radiasi matahari langsung mencapai permukaan bumi, membuat cuaca terasa terik—kondisi khas musim kemarau di Indonesia.
BMKG menegaskan bahwa fenomena ini tidak berkaitan dengan aphelion, yakni saat bumi berada di titik terjauh dari matahari dalam orbitnya. Pengaruh aphelion terhadap suhu permukaan bumi sangat kecil dan tidak cukup signifikan.
Fenomena bediding diperkirakan akan berlangsung hingga Agustus hingga awal September 2025, seiring dengan puncak kemarau.
Namun, BMKG juga mencatat adanya anomali musim kemarau tahun ini. Sebagian besar wilayah Indonesia justru mengalami kemarau basah, yaitu kemarau dengan curah hujan di atas normal. Hal ini disebabkan oleh suhu muka laut yang tetap hangat serta pengaruh gelombang atmosfer yang aktif.
Kondisi tersebut berpotensi memicu bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, terutama di wilayah-wilayah yang biasanya kering saat kemarau. BMKG memperkirakan pola ini akan berlangsung hingga September 2025.
(HP)



