Jakarta, Suarabersama.com – Dalam situasi ekonomi nasional yang masih belum sepenuhnya stabil, rencana pemberian tunjangan tempat tinggal sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR RI menuai reaksi keras dari masyarakat. Perhatian tajam pun diarahkan kepada para anggota dewan dan pimpinan, termasuk Wakil Ketua DPR RI, Adis Kadir dan Ahmad Muzani.
Adis Kadir mengonfirmasi adanya anggaran ini, tetapi menekankan bahwa dana tersebut bukan merupakan kenaikan gaji pokok. Ia menerangkan bahwa tunjangan tersebut disediakan sebagai kompensasi atas dihapuskannya fasilitas rumah dinas. “Angka Rp50 juta itu wajar untuk rumah di kawasan Senayan, Jakarta Pusat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Adis menyatakan bahwa tunjangan ini hanya diberikan kepada anggota DPR biasa. Para pimpinan dewan, menurutnya, tidak menerima karena telah difasilitasi rumah dinas. Ia juga menjelaskan bahwa harga sewa tempat tinggal di sekitar Senayan bisa mencapai Rp3 juta per hari, sehingga jumlah tunjangan tersebut dinilainya belum mencukupi.
Isu ini dibahas lebih dalam dalam sebuah diskusi publik yang turut dihadiri oleh Sekjen FITRA, Misbah Hasan, dan anggota Komisi XII DPR RI, Toto Darianto. Toto menjelaskan bahwa tunjangan perumahan tersebut bukanlah anggaran baru, melainkan telah dialokasikan sejak awal masa jabatan. Ia juga menambahkan bahwa banyak anggota DPR yang berasal dari daerah belum memiliki hunian tetap di Jakarta, termasuk dirinya meskipun telah menjabat selama dua dekade.
Namun demikian, Misbah Hasan berpandangan bahwa jumlah tunjangan ini tergolong besar dan kurang tepat mengingat kondisi ekonomi yang belum membaik. Ia menyebutkan bahwa bila dihitung, tunjangan senilai Rp50 juta per bulan untuk 580 anggota dewan akan memakan anggaran hingga Rp348 miliar per tahun, dan mencapai Rp1,74 triliun dalam periode lima tahun jabatan.
“Ini akan memperlebar kesenjangan antara wakil rakyat dan masyarakat,” kata Misbah, sembari menunjukkan data rasio gini Indonesia yang mencapai angka 0,375 pada Maret 2025, dengan nilai yang bahkan lebih tinggi di kawasan perkotaan.
Tak hanya tunjangan rumah, publik juga menyoroti beragam bentuk tunjangan lain yang diterima para anggota dewan, seperti tunjangan beras, tunjangan keluarga, tunjangan komunikasi, hingga subsidi pajak penghasilan (PPH 21). Menurut Misbah, total nilai tunjangan dapat mencapai sekitar Rp101 juta per bulan untuk setiap anggota.
Poin krusial dalam polemik ini adalah soal mekanisme pemberian tunjangan rumah yang dilakukan secara langsung dan tanpa mekanisme pelaporan penggunaan dana. “Karena diberikan secara langsung, uang itu bisa digunakan untuk apa saja, dan pertanggungjawabannya akan sulit,” tambah Misbah.
Menanggapi hal itu, Toto menyatakan bahwa anggaran tersebut sudah melewati pembahasan antara pemerintah dan sekretariat DPR, serta merupakan bentuk fasilitas guna menunjang pelaksanaan tugas kedewanan—bukan dana pribadi anggota dewan. (*)