Suara Bersama

Di Tengah Perang Dagang AS-China, Indonesia Dianggap Punya Peluang Emas dari Mineral

Jakarta, Suarabersama.com – Di saat dunia tengah menyaksikan ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, Indonesia justru dinilai memiliki peluang strategis untuk mendulang keuntungan. Kunci peluang itu ada pada cadangan mineral kritis yang melimpah di Tanah Air, seperti nikel dan tembaga, yang sangat dibutuhkan oleh industri global.

Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, ketegangan geopolitik ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat peran dalam rantai pasok global. Terlebih, Amerika Serikat saat ini masih sangat bergantung pada pasokan mineral penting untuk menunjang industri teknologi tinggi.

“Mineral kritis masih sangat dibutuhkan oleh AS. Karena itu, besar harapan Indonesia untuk tetap eksis dan survive meski ada perang dagang AS-China,” kata Esther di Jakarta, Selasa (15/4).

Mineral seperti nikel dan tembaga saat ini menjadi komoditas strategis karena digunakan dalam berbagai sektor, mulai dari kendaraan listrik, energi terbarukan, hingga infrastruktur digital. Indonesia, yang memiliki cadangan besar kedua mineral itu, dipandang memiliki nilai tawar geopolitik yang meningkat di tengah memanasnya hubungan dagang dua negara adidaya tersebut.

Namun, menurut Esther, peluang ini hanya bisa dimaksimalkan apabila pemerintah serius mendorong hilirisasi industri pertambangan.

“Jangan hanya mengekspor dalam bentuk mentah. Kita harus tambahkan nilai, kita olah dulu, kita hilirisasi, baru ekspor,” tegasnya.

Ia mencontohkan pengolahan tembaga dari tambang Freeport di Papua yang seharusnya bisa dijadikan bahan setengah jadi sebelum dikirim ke pasar global, khususnya Amerika Serikat. Hal ini penting karena AS kini sedang aktif mencari mitra dagang baru untuk mengurangi ketergantungan pada China.

Menambah peluang, AS baru saja menunda penerapan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara mitra, termasuk Indonesia, yang semula dijadwalkan berlaku mulai 9 April 2025. Penundaan selama 90 hari ini, menurut Esther, bisa menjadi momen emas untuk menyusun strategi ekspor yang cerdas dan terukur.

“Pemerintah harus memanfaatkan waktu ini dengan baik. Walaupun tidak bisa menggantikan posisi China secara penuh, Indonesia tetap memiliki peluang menembus pasar AS,” ujarnya.

Esther menegaskan, perang dagang memang membawa risiko ketidakpastian, namun di sisi lain juga membuka ruang manuver bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan kekayaan mineral kritis dan arah kebijakan industri yang tepat, Indonesia bisa mengambil posisi penting dalam peta ekonomi global yang sedang berubah.

(HP)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 1 =