Jakarta, Suarabersama.com – Pada Minggu (7/7/2024), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengkritik agresi Israel dan mendesak pemerintah Zionis untuk menghentikan serangan tidak manusiawi di Gaza. Erdogan menyebut bahwa serangan ini telah menewaskan 38.000 warga Palestina sejak Oktober tahun lalu.
Israel harus berhenti melanjutkan pembantaian ini dan mengakhiri serangan tidak manusiawi ini,” kata Presiden Erdogan.
Sampai saat ini, lanjutnya, Israel tetap melanjutkan serangannya dan terus melakukan pembantaian. Israel juga melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional.
Mengomentari potensi kesepakatan gencatan senjata di Gaza, Erdogan menyatakan bahwa ada perkembangan positif di Doha, di mana kepala agen intelijen Israel, Mossad, baru-baru ini terlibat dalam pembicaraan.
“Mereka sekarang mengatakan gencatan senjata bisa terjadi ‘kapan saja’. Dengan kata lain, kapan saja, berita yang tepat bisa terdengar dari sana. Namun, masalahnya adalah sikap Netanyahu,” kata dia.
Turki, tegasnya, telah berkali-kali menyatakan bahwa konflik harus diakhiri, dan solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967 akan menjamin perdamaian yang abadi.
Presiden Erdogan juga meminta Israel untuk membatalkan niatnya untuk menyebarkan konflik di Lebanon menyusul eskalasi antara Israel dan Hizbullah.
“Israel harus membatalkan niatnya untuk menyebarkan konflik ke wilayah tersebut, dan negara-negara Barat khususnya AS, harus menarik dukungan mereka terhadap Israel pada saat ini,” tegasnya.
Lebih dari 38.000 warga Palestina telah tewas, dengan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, sementara lebih dari 87.000 lainnya dilaporkan terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Hampir sembilan bulan setelah agresi Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade terhadap pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan, yang telah melumpuhkan daerah konflik tersebut.
Israel dituduh melakukan genosida oleh Mahkamah Internasional. Keputusan terbarunya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militer di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum kota tersebut diserbu pada 6 Mei.(Hni)



