suarabersama.com, Jakarta – Presiden China Xi Jinping menegaskan sikap negaranya yang tak akan mundur menghadapi tekanan tarif tambahan dari Amerika Serikat, menandai eskalasi terbaru dalam tensi dagang global.
Pada Jumat, 11 April 2025, Beijing resmi menaikkan tarif atas produk-produk asal AS menjadi 125%, menyamai level tarif yang lebih dahulu ditetapkan oleh pemerintah AS terhadap barang-barang dari China. Langkah ini menunjukkan tekad kuat dari pemerintah China untuk tidak tunduk pada kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump yang dinilai penuh tekanan sepihak.
Xi Jinping juga menyerukan solidaritas global dengan mengajak Uni Eropa bergabung dalam perlawanan terhadap “intimidasi ekonomi” AS. “Tidak ada pemenang dalam perang tarif,” ujarnya dalam pertemuan dengan PM Spanyol, Pedro Sánchez. Ia menambahkan bahwa dunia harus melawan isolasionisme dan mendukung globalisasi ekonomi.
Balas-Membalas Tarif
Perang dagang ini telah berlangsung dalam siklus balasan bertubi-tubi. Ketika AS pertama kali mengenakan tarif sebesar 34% terhadap barang China, Beijing membalas dengan jumlah yang sama. Namun, kondisi makin rumit setelah Trump meningkatkan tarif menjadi 104%, disusul oleh balasan China menjadi 84%, dan kini keduanya berada di titik 125%.
Masih belum selesai, tarif AS bisa saja melonjak hingga 145% bagi beberapa kategori produk, termasuk yang terkait dengan bahan baku fentanil, seiring langkah-langkah tambahan dari Washington.
Menanggapi situasi ini, Kementerian Luar Negeri China menyebut kebijakan tarif AS sebagai bentuk “tirani perdagangan” dan menolak praktik hegemonik. “China tidak akan pernah tunduk pada pemerasan,” ujar juru bicara Lin Jian.
Dampak Ekonomi Asia dan Dunia
Efek domino mulai terasa di Asia. Tarif AS terhadap Vietnam naik menjadi 46%, Kamboja 49%, dan Indonesia mencapai 32%. Ekonomi kawasan kini berada dalam tekanan besar.
“Negara-negara kini harus berpikir ulang soal strategi ekspor mereka,” ujar Deborah Elms dari Hinrich Foundation. “Barang-barang China yang tidak bisa masuk ke pasar AS akan dialihkan ke wilayah lain, termasuk Asia Tenggara.”
Namun, dampaknya tak hanya dirasakan China. Ekonomi AS juga menghadapi tantangan. Defisit perdagangan dengan China mencapai US$295 miliar pada 2024. Trump sendiri mengakui bahwa AS tengah mencari “kesepakatan yang adil” untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Manuver Trump: Strategi atau Spekulasi?
Banyak pihak mempertanyakan arah kebijakan tarif Trump. Ada yang menyebut langkah ini sebagai strategi negosiasi, sementara lainnya menduga ada niat tersembunyi untuk mendorong pelemahan nilai dolar demi mendongkrak ekspor AS—hipotesis yang dikenal dengan sebutan “Kesepakatan Mar-a-Lago”.
Meskipun teorinya belum terkonfirmasi, dampak kebijakan ini sudah terasa di pasar saham global. Investor mulai khawatir terhadap ketidakpastian jangka panjang.
Di tengah gejolak ini, China tampaknya bersiap menanggung rasa sakit demi mempertahankan prinsip. “Ini bukan soal untung rugi lagi, tapi tentang siapa yang sanggup bertahan lebih lama,” kata Mary Lovely, pakar perdagangan dari Peterson Institute.
Dengan ketegangan yang terus meningkat dan saling balas yang tak kunjung reda, dunia kini mengamati siapa yang akan mengalah terlebih dahulu—atau apakah keduanya akan menemukan jalan diplomatik keluar dari labirin tarif ini.



