Jakarta, Suarabersama.com – Amerika Serikat melakukan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran pada Sabtu (21/6) waktu setempat, dalam langkah militer yang secara signifikan meningkatkan keterlibatan AS dalam konflik di Timur Tengah.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangan tersebut melalui unggahan di media sosial Truth Social, dan menyebut operasi jet siluman B-2 itu sebagai “sukses besar” yang menghancurkan target utama program nuklir Teheran. Meski begitu, hingga kini belum ada rincian resmi mengenai kerusakan yang ditimbulkan atau potensi korban.
Serangan ini memicu ketegangan geopolitik yang lebih luas dan diperkirakan akan berdampak besar terhadap pasar keuangan global saat perdagangan dibuka.
Pasar Bersiap Hadapi Reaksi Negatif
Para investor memperkirakan meningkatnya ketidakpastian geopolitik akan memicu aksi jual di pasar saham dan lonjakan permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS, emas, dan obligasi. Analis juga memperkirakan harga minyak akan dibuka lebih tinggi, menyusul meningkatnya kekhawatiran atas pasokan global.
“Saya pikir pasar akan waspada pada awalnya, dan saya pikir minyak akan dibuka lebih tinggi,” kata Mark Spindel, Kepala Investasi di Potomac River Capital.
Spindel juga menambahkan bahwa belum adanya informasi lengkap mengenai hasil serangan membuat pasar berada dalam kondisi penuh ketidakpastian. “Kami belum memiliki penilaian kerusakan, dan itu akan memakan waktu. Trump mungkin menyebut ini sudah selesai, tetapi realitasnya, kita justru baru saja masuk ke tahap baru,” ujarnya.
Harga Minyak, Inflasi, dan Dampaknya ke Ekonomi Global
Salah satu kekhawatiran utama yang muncul dari serangan ini adalah potensi lonjakan harga minyak mentah, yang dapat memicu tekanan inflasi global. Harga minyak Brent telah naik sekitar 18% sejak 10 Juni, bahkan sebelum serangan, dan ditutup pada level tertinggi lima bulan di US$79,04 per barel pada Kamis (19/6).
Laporan Oxford Economics menunjukkan bahwa jika ketegangan berlanjut dan terjadi penutupan Selat Hormuz, harga minyak bisa melonjak hingga US$130 per barel, yang mendorong inflasi AS mendekati 6% pada akhir tahun. Kondisi ini bisa menggagalkan harapan pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral.
“Ini pasti akan berdampak pada harga energi dan berpotensi juga pada inflasi,” ujar Jack Ablin, Kepala Investasi di Cresset Capital.
Peluang Damai atau Eskalasi Lanjut?
Sementara itu, beberapa analis menilai serangan tersebut dapat menjadi titik balik menuju penyelesaian diplomatik. Jamie Cox, mitra pengelola di Harris Financial Group, mengatakan bahwa kekalahan strategis Iran mungkin akan mendorong negara itu menuju perundingan damai.
“Dengan demonstrasi kekuatan ini, mereka telah kehilangan sebagian besar pengaruhnya. Kesepakatan damai kini bisa menjadi opsi realistis,” ujarnya.
Namun, risiko eskalasi tetap tinggi. Parlemen Iran dikabarkan telah menyetujui opsi penutupan Selat Hormuz, meski keputusan akhir ada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Efek Jangka Pendek Terhadap Pasar
Secara historis, pasar saham AS sempat terguncang oleh konflik Timur Tengah, namun cenderung pulih dalam beberapa bulan. Data dari Wedbush Securities menunjukkan bahwa indeks S&P 500 rata-rata hanya turun 0,3% dalam tiga minggu setelah konflik, namun rebound sekitar 2,3% dua bulan kemudian.
Namun kali ini, pelaku pasar menghadapi tekanan ganda: risiko geopolitik serta potensi kembalinya perang tarif akibat penangguhan tarif “timbal balik” oleh Presiden Trump yang akan segera berakhir.
Arah Dolar AS dan Pasar Global
Keterlibatan militer AS dalam konflik Iran-Israel juga membuka kemungkinan penguatan dolar sebagai aset aman. Analis menilai bahwa peningkatan ketegangan dapat menurunkan imbal hasil obligasi dan mendorong penguatan mata uang AS.
“Sulit membayangkan saham tidak bereaksi negatif. Semua akan bergantung pada reaksi Iran dan bagaimana pasar menilai lonjakan harga minyak,” kata Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar di IBKR.
(HP)



