Jakarta, Suarabersama.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara terbuka mengungkapkan alasan di balik pembangunan berbagai proyek transportasi massal, seperti MRT, LRT, dan Kereta Cepat. Penjelasan tersebut disampaikan dalam pengarahan kepada seluruh Kepala Daerah di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Jokowi menegaskan bahwa proyek-proyek ini bukan hanya untuk memperbaiki sistem transportasi, tetapi juga untuk mengatasi potensi kerugian besar akibat kemacetan.
“Kalau nggak ada LRT, MRT, Kereta Cepat, kita kehilangan tiap tahun karena kemacetan Rp 65 triliun, kalau Jabodetabek mungkin di atas Rp 100 triliun. Pilih mana? Beli LRT, MRT, atau uangnya hilang karena kemacetan?,” kata Jokowi dengan tegas dalam Konferensi Pers APBN Kita yang berlangsung di Kantor Kementerian Keuangan pada Jumat, 26 April 2024. Pernyataan ini menggambarkan betapa signifikan dan merugikannya dampak kemacetan jika tidak ditangani dengan baik melalui sistem transportasi massal yang efektif.
Jokowi juga menekankan pentingnya setiap kepala daerah untuk mulai memikirkan pengembangan sistem transportasi massal yang berbasis energi hijau, seperti listrik dan gas. Proyek-proyek seperti MRT, LRT, dan kereta cepat dianggap penting untuk mengurangi kemacetan dan menekan tingkat polusi. Dalam konteks ini, Jokowi mendorong para kepala daerah untuk tidak hanya mempertimbangkan manfaat langsung dari pembangunan tersebut, tetapi juga untuk memikirkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.
“Para kepala daerah juga mesti mencoba kalkulasi dari sekarang soal transportasi massal,” kata Jokowi. Dia memberikan peringatan bahwa pengadaan sarana transportasi massal di daerah memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Jokowi merinci biaya pembangunan dan operasional berbagai jenis transportasi massal yang ada saat ini.
Untuk pembangunan MRT, Jokowi mengungkapkan bahwa biaya per kilometer mencapai Rp 2,3 triliun, dengan biaya operasional tahunan sebesar Rp 800 miliar. Dengan asumsi semua jalur MRT selesai dibangun, anggaran APBD yang dibutuhkan untuk operasional bisa mencapai Rp 4 triliun per tahunnya.
Sementara itu, biaya pembangunan LRT sebesar Rp 700 miliar per kilometer, dan biaya untuk kereta cepat adalah Rp 780 miliar per kilometer. Di sisi lain, untuk Autonomous Rail Transit (ART) yang telah diuji coba di IKN, biayanya lebih terjangkau, yaitu Rp 74 miliar untuk satu unit yang terdiri dari tiga gerbong, dengan biaya operasional sebesar Rp 500 juta per bulan.
“Hitungannya hati-hati, mungkin bisa bangun tapi operasional nggak kecil. Apa APBD siap?,” ujar Jokowi. Dia mengingatkan bahwa meskipun pembangunan transportasi massal dapat dilakukan, biaya operasionalnya juga harus diperhitungkan dengan seksama.
“Kalau apapun yang namanya MRT, LRT, kereta cepat, semuanya itu rugi. Artinya harus ada PSO (Public Service Obligation/subsidi), APBD harus siap meng-cover biaya operasional,” sambung Jokowi. Pernyataan ini menegaskan bahwa untuk memastikan keberlanjutan dan efisiensi dari proyek-proyek transportasi massal, perlu ada dukungan finansial yang memadai, termasuk subsidi dari pemerintah.
Melalui penjelasan ini, Jokowi berharap bahwa seluruh pihak dapat lebih memahami kebutuhan dan tantangan dalam pengembangan transportasi massal, serta mempersiapkan anggaran dan perencanaan yang matang untuk menghadapi biaya operasional yang tinggi.
(XLY)



