Suara Bersama

Kasus Nadiem: Politik Ekonomi di Balik Status Tersangka

Jakarta, Suarabersama.com – Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2019–2024), sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun.

Bagi publik, kabar ini mengejutkan. Sulit membayangkan seorang Nadiem yang identik dengan Gojek dan inovasi digital di sektor ekonomi kini menjadi pesakitan hukum. Pertanyaan pun mengemuka: apakah ini murni kasus hukum, atau ada dimensi politik ekonomi di baliknya?

Digitalisasi Pendidikan dan Kebijakan Chromebook

Sejak awal menjabat, Nadiem menjadikan digitalisasi sebagai isu utama. Visinya menjanjikan: semua siswa bisa melek teknologi, sekolah tidak lagi gagap digital, dan guru dapat mengakses perangkat modern.

Untuk mewujudkan hal itu, Nadiem mengalokasikan anggaran besar dengan memilih Chromebook alih-alih laptop berbasis Windows. Asumsinya, Chromebook lebih murah 10–30 persen sehingga dapat menghemat anggaran negara.

Namun, niat baik tidak selalu berakhir baik jika cara dan konteksnya keliru. Kebijakan publik bukan hanya soal niat, melainkan harus dianalisis dengan kacamata politik-ekonomi.

Mismatch Kebijakan dan Realitas

Seringkali, kebijakan lahir dari laporan asal bapak senang atau bahkan rekayasa kepentingan. Akibatnya, kebijakan yang visioner justru berujung bumerang.

Dalam kasus Chromebook, terjadi mismatch antara ambisi kebijakan dengan kapasitas masyarakat dan infrastruktur pendukung. Alih-alih efisien, justru muncul pemborosan, inefisiensi, dan celah hukum yang kemudian menjerat Nadiem.

Fenomena ini mencerminkan persoalan lebih besar dalam pola kebijakan pemerintah Indonesia: proyek bernilai fantastis sering diposisikan sebagai simbol keberhasilan, meski minim relevansi dengan kondisi nyata masyarakat.

Antara Etika, Akuntabilitas, dan Politik

Secara etis, pejabat publik wajib berhati-hati dalam mengalokasikan dana negara. Transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian menjadi kunci. Dalam kasus ini, akuntabilitas tak terpenuhi karena kebijakan tidak memperhitungkan kesiapan infrastruktur. Visioner, tetapi tidak berpijak pada realitas.

Kebijakan mercusuar bukan hal baru. Food estate, Kereta Cepat Whoosh, hingga proyek-proyek serupa kerap menimbulkan gegap gempita di awal, namun redup di tengah jalan karena minim partisipasi masyarakat.

Musrenbang, yang idealnya menjadi wadah penyusunan aspirasi masyarakat, pun lebih sering sekadar agenda tahunan formalitas.

Kasus Nadiem menjadi pelajaran penting tentang rapuhnya hubungan antara visi besar, realitas sosial, dan logika politik-ekonomi. Kebijakan publik, sebesar apa pun nilainya, harus berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat serta diuji secara cermat.

Jika tidak, kebijakan hanya akan menjadi simbol pencitraan, membuka celah hukum, dan mengorbankan pejabat yang berada di persimpangan kepentingan politik dan birokrasi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 3 =