Jakarta, Suarabersama.com – Setelah lima hari bentrokan sengit, Thailand dan Kamboja akhirnya mencapai kesepakatan untuk menghentikan pertempuran melalui sebuah gencatan senjata yang diumumkan pada Selasa dini hari, 29 Juli 2025.
Perdamaian ini berhasil dicapai berkat mediasi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang bertindak sebagai penengah antara kedua negara.
Thailand dan Kamboja telah lama bersengketa mengenai wilayah perbatasan di kawasan Prasat Ta Moan Thom, dan konflik sempat memuncak minggu lalu ketika kedua belah pihak saling menuduh sebagai pemicu permusuhan, yang kemudian berkembang menjadi serangan artileri berat.
Pertempuran secara resmi dimulai pada 24 Juli 2025, sebagai kelanjutan dari ketegangan yang telah berlangsung sejak Mei.
Kini, kedua negara menyatakan sepakat untuk melakukan gencatan senjata “tanpa syarat.”
Menurut laporan dari The Nation, terdapat empat poin utama dalam kesepakatan gencatan senjata yang dicapai antara Thailand dan Kamboja.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikorndej Balankura, menjabarkan keempat butir utama tersebut:
– Keselamatan dan Keamanan: Perjanjian ini diharapkan dapat segera melindungi warga sipil dan properti di area perbatasan.
– Kembali ke Kerangka Bilateral: Pembicaraan lanjutan yang dimulai keesokan paginya akan menandai dimulainya perundingan -bilateral “posisi yang secara konsisten diserukan Thailand” dengan agenda pertemuan Komite Perbatasan Umum (GBC) dijadwalkan pada 4 Agustus, serta diskusi dalam Komite Perbatasan Bersama pada bulan September.
– Mekanisme Pengamat: Kehadiran pengamat independen akan memastikan pelaksanaan dan kepatuhan terhadap isi gencatan senjata, sebagai jawaban atas permintaan lama Thailand untuk bukti komitmen dari pihak Kamboja.
– Bantuan Sipil: Penduduk yang sebelumnya mengungsi kini dapat kembali ke rumah mereka dan melanjutkan kehidupan seperti biasa.
Nikorndej juga menekankan bahwa pertemuan hari Senin tersebut “semata-mata negosiasi gencatan senjata, tanpa pembahasan demarkasi perbatasan apa pun, sehingga tidak menghasilkan keuntungan atau kerugian teritorial bagi Thailand.”
Perjanjian ini memberikan ruang aman bagi warga yang tinggal di wilayah perbatasan untuk menjalani kembali kehidupan sehari-hari tanpa rasa takut akan konflik, serta menjamin keamanan warga Thailand yang berada di wilayah Kamboja.
“Ke depannya, kami ingin melihat ketulusan dari pihak Kamboja, termasuk mengakhiri serangan terhadap warga sipil. Gencatan senjata harus didasarkan pada hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional,” tegas Nikorndej.
Ia turut menyebutkan sejumlah ketentuan penting, antara lain larangan penggunaan senjata apapun, penghentian penempatan ranjau, pelarangan pengerahan pasukan tambahan, serta penghentian tindakan provokatif yang berpotensi memicu konflik. Pemantauan akan dilakukan oleh lembaga lokal guna menjamin penerapan nyata dari kesepakatan ini demi terciptanya stabilitas.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Thailand, Jirayu Huangsap, mengungkapkan bahwa Malaysia sebagai Ketua ASEAN telah membentuk tim pengamat guna memantau pelaksanaan kesepakatan tersebut.
Jirayu—yang juga menjabat di Pusat Operasi Khusus untuk Manajemen Situasi Perbatasan Thailand-Kamboja (SOC-TCBSM)—menyampaikan pengumuman ini setelah pertemuan tiga pihak yang diadakan di Seri Perdana, kediaman resmi Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya.
Menurutnya, Anwar menyampaikan apresiasi mendalam terhadap nada positif dalam dialog tersebut, serta memuji kedua negara atas komitmen mereka untuk segera menghentikan konflik.
Keterlibatan aktif dan sinergi dari semua pihak menunjukkan komitmen bersama dalam mewujudkan perdamaian, memperkuat diplomasi, dan menjaga stabilitas kawasan.



