Suara Bersama

Dukung Swasembada Energi, Indonesia Kembangkan Industri Baterai Listrik

Jakarta, Suarabersama.com – Presiden Prabowo Subianto menetapkan target ambisius bagi Indonesia untuk memproduksi hingga 100 gigawatt hour (GWh) baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Tujuan besar ini menjadi bagian dari pembangunan ekosistem industri baterai EV terintegrasi yang tengah digarap.

Inisiatif skala besar ini dijalankan oleh konsorsium yang melibatkan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Indonesia Battery Corporation (IBC), serta sejumlah perusahaan asal Tiongkok seperti CATL, Brunp, dan Lygend (CBL). Konsorsium CBL sendiri merupakan bagian dari raksasa industri baterai dunia, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL).

Pada tahap awal, pabrik akan memproduksi baterai dengan kapasitas 6,9 GWh dan ditargetkan mulai beroperasi pada akhir tahun 2026. Kapasitas ini nantinya ditingkatkan menjadi 15 GWh pada fase kedua, cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar 300 ribu kendaraan listrik.

“Hari ini kita saksikan peresmian proyek integrasi baterai EV dengan kapasitas 15 GWh. Tapi menurut laporan para pakar kepada saya, agar benar-benar mandiri, kita perlu mungkin (membangun) 100 GWh,” kata Prabowo di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Karawang, Minggu, 29 Juni 2025.

Presiden juga menekankan proyek ini bukan sekadar langkah industri, tetapi juga tonggak menuju kemandirian energi nasional. Ia yakin bahwa dengan energi terbarukan seperti tenaga surya, Indonesia bisa mencapai swasembada energi dalam lima hingga enam tahun ke depan.

“Salah satu jalan kita menuju swasembada energi adalah listrik dari tenaga surya, dan kunci dari tenaga surya adalah baterai. Saya diberitahu para pakar, bangsa kita sungguh bisa mandiri energi. Hitungan saya, tidak lama, paling lambat enam tahun,” kata dia.

Baterai untuk PLTS

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan  pemerintah juga akan mengembangkan baterai untuk menyimpan energi dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tidak hanya untuk kendaraan listrik.
“Insyaallah, mitra-mitra kita bersedia mendukung pengembangan ini agar seluruh komponen produksi dilakukan di dalam negeri,” ujar Bahlil.

Proyek ini menjadi bagian dari strategi nasional dalam membangun industri baterai dari hulu ke hilir, yang mencakup enam subproyek saling terintegrasi. Nilai investasi proyek ini mencapai USD5,9 miliar atau setara Rp95,5 triliun (dengan kurs Rp16.194). Dampak ekonominya diproyeksikan bisa mencapai USD49 miliar per tahun atau sekitar Rp793,506 triliun, tergantung pada dinamika harga komoditas.

Lebih jauh, Bahlil menyebut target jangka menengah mencakup pengembangan kapasitas hingga 40 GWh, sesuai meningkatnya kebutuhan pasar untuk baterai PLTS. Rantai produksi mencakup tahap awal seperti tambang, smelter, prekursor, dan katoda, hingga tahap akhir seperti sel baterai dan fasilitas daur ulang atau kick-off facility (RKF).

Sebesar USD1,2 miliar dari total investasi akan dialokasikan untuk pembangunan fasilitas battery cell di Jawa Barat, yang letaknya dekat dengan pabrik perakitan mobil.

“Sementara itu, investasi sebesar USD4,7 miliar akan ditempatkan di Maluku Utara untuk pengembangan tambang, smelter, prekursor, katoda, dan RKF,” tutur Bahlil.

Produksi Menarik Minat Pembeli

Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menyampaikan bahwa baterai kendaraan listrik yang dihasilkan melalui proyek ini sudah diminati oleh sejumlah pembeli baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Permintaan domestik sudah mulai masuk, dan sekitar 30 persen permintaan ekspor datang dari negara-negara seperti Jepang, India, dan Amerika Serikat (AS).
“Namun, nama-nama mitra belum dapat kamu umumkan karena masih dalam tahap finalisasi dengan CATL,” jelas Toto.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perubahan kebijakan tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump telah membuka kembali peluang ekspor ke AS. Ini menjadi momentum penting untuk menembus pasar global, termasuk Tiongkok, Eropa, dan negara-negara ASEAN.

Ia juga menyatakan bahwa strategi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif memberi keleluasaan untuk menjalin kerja sama perdagangan dengan berbagai negara tanpa bergantung pada blok tertentu.

Sementara itu, pengamat energi dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai bahwa Indonesia harus mampu memaksimalkan manfaat dari hilirisasi industri nikel. Selain itu, penting juga memastikan pengembangan industri baterai sejalan dengan peningkatan standar lingkungan dan sosial dalam negeri.

Pasar EV Global dan Tantangan Teknologi

Penjualan kendaraan listrik di pasar global masih mencatat pertumbuhan sekitar 25 persen per tahun, meski mengalami perlambatan di sejumlah wilayah. Selama setahun terakhir, penjualan EV global menyentuh angka 17 juta unit atau 20 persen dari total penjualan mobil secara keseluruhan.
“Meskipun pertumbuhan EV di Amerika Serikat diperkirakan akan lebih lambat, pasar Eropa, Asia, dan Amerika Latin tetap menjadi wilayah yang menjanjikan,” terangnya.

Namun, Putra menyoroti pergeseran tren teknologi. Saat ini, sekitar 70 persen kendaraan listrik baru di Tiongkok sudah tidak lagi menggunakan baterai berbasis nikel. Hal ini menjadi tantangan bagi produsen untuk menyesuaikan teknologi dengan standar tinggi seperti yang diterapkan di Uni Eropa.

Selain itu, eskalasi perang dagang antarnegara besar juga memberi dampak signifikan pada industri otomotif, termasuk kendaraan listrik. Untuk menjaga daya saing, rantai pasok industri baterai memerlukan pasokan energi hijau secara masif, sebagai bagian dari upaya menuju dekarbonisasi dan transisi ke energi bersih.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty + 12 =