Suara Bersama

Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan Tantangan Penyelamatan TNTN di Riau

Pekanbaru, Suarabersama – Pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 telah menimbulkan perhatian publik, khususnya di Provinsi Riau. Satgas ini memiliki mandat utama untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan yang telah dialihfungsikan secara ilegal.

Salah satu langkah tegas Satgas PKH yang mendapat sorotan adalah penindakan langsung di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), termasuk pemasangan plang penguasaan negara di wilayah konservasi yang sebelumnya dikuasai oleh pihak tak berwenang. Tindakan ini menjadi pembicaraan luas, bahkan di kalangan masyarakat yang sebelumnya belum begitu memahami pentingnya konservasi hutan.

Namun, tindakan tersebut juga memicu protes besar dari kelompok masyarakat yang telah lama bermukim atau berkegiatan di dalam kawasan hutan. Aksi demonstrasi muncul, disertai spekulasi mengenai adanya pihak tertentu yang mengarahkan gerakan masyarakat. Pemerintah provinsi dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) pun turut merespons situasi tersebut, terutama terkait isu relokasi masyarakat yang terdampak.

Sebelumnya, Balai TNTN yang berada di bawah Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum. Namun langkah-langkah tersebut seringkali gagal karena kuatnya penolakan dari masyarakat, bahkan diwarnai dengan aksi intimidasi terhadap petugas, seperti pembakaran kendaraan operasional dan ancaman fisik.

Penindakan hukum terhadap sejumlah tokoh lokal, termasuk kepala desa dan tokoh adat, juga sudah dilakukan. Meski beberapa telah divonis bersalah dan menjalani hukuman, praktik perambahan hutan masih terus terjadi. Alih fungsi kawasan menjadi kebun sawit dan pemukiman tetap marak, didorong oleh permintaan lahan dan migrasi penduduk, serta harga komoditas kelapa sawit yang menggiurkan.

Langkah terbaru Satgas PKH mulai menunjukkan dampak penahanan diri dari masyarakat terhadap ekspansi baru di kawasan hutan. Kekuatan kelembagaan Satgas yang melibatkan unsur TNI, Polri, Kejaksaan Agung, serta kementerian terkait menjadi sinyal kuat bahwa penertiban kali ini bukan main-main. Satgas juga diharapkan dapat mengungkap dugaan keterlibatan pihak-pihak berkepentingan atau “beking” dalam praktik alih fungsi hutan selama ini.

Fenomena positif lain yang muncul adalah meningkatnya perhatian publik terhadap pelestarian satwa endemik seperti gajah dan harimau Sumatera. Selama ini isu-isu konservasi satwa hanya mendapat tempat dalam lingkaran aktivis dan lembaga lingkungan. Kini, kesadaran akan pentingnya habitat alami satwa dilindungi mulai menyebar lebih luas, terutama setelah pernyataan tegas dari aparat keamanan mengenai pentingnya TNTN sebagai rumah bagi populasi Gajah Sumatera.

Beragam reaksi terhadap tindakan Satgas PKH dianggap sebagai hal yang wajar. Perbedaan kepentingan dan cara pandang masyarakat tentu memunculkan pro-kontra. Meski demikian, diskursus yang tumbuh dari dinamika ini bisa menjadi modal penting untuk menyusun kebijakan yang lebih inklusif dan adil.

Salah satu isu mendesak yang kini menjadi sorotan adalah skema relokasi masyarakat dari kawasan hutan. Jumlah penduduk yang tinggal di sana telah meningkat signifikan, baik akibat pertumbuhan alami maupun migrasi. Pemprov Riau dan berbagai pihak menekankan pentingnya proses relokasi yang manusiawi, adil, dan tidak menambah penderitaan masyarakat kecil.

Tantangan ke depan bagi Satgas PKH tidak mudah. Namun dengan mandat langsung dari Presiden serta dukungan berbagai pihak, diharapkan dapat tercipta solusi bijak yang seimbang antara kepentingan konservasi, sosial, dan ekonomi. Proses pemulihan kawasan hutan bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal masa depan ekosistem dan generasi mendatang.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − five =