Jakarta, 27 Juni 2025 — Pemerintah tengah menggodok penulisan ulang sejarah nasional sebagai bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 RI. Proyek ambisius ini dipimpin oleh Kementerian Kebudayaan dan ditargetkan rampung Agustus mendatang. Namun, proyek tersebut justru memicu perdebatan publik karena dianggap rawan menjadi instrumen politik kekuasaan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa proyek ini bersifat akademis dan terbuka untuk masukan. Ia menyebut bahwa lebih dari 100 akademisi dan sejarawan telah dilibatkan dalam penulisan ulang buku sejarah tersebut. “Kami membuka ruang diskusi setelah drafnya mendekati selesai,” ujarnya saat rapat kerja dengan DPR.
Namun, muncul kontroversi setelah seorang pejabat di lingkungan kementerian, Agus Mulyana, menyebut pihak-pihak yang mengkritik proyek ini sebagai “sesat sejarah” dan “kelompok radikal”. Pernyataan ini dikecam sejumlah anggota DPR, termasuk Bonnie Triyana dari Komisi X, yang menilai bahwa pelabelan semacam itu berbahaya dan kontraproduktif terhadap semangat keterbukaan.
Bonnie mempertanyakan bagaimana tokoh-tokoh seperti Marzuki Darusman dan Kiai Imam Aziz bisa dianggap radikal hanya karena menyuarakan kritik. Ia mengingatkan bahwa sejarah seharusnya membuka ruang dialog, bukan membungkam pandangan berbeda.
Fadli Zon kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataan Agus tidak mewakili sikap resmi kementerian dan menyampaikan permintaan maaf. Ia menekankan bahwa kementeriannya menghargai kritik dan perbedaan pandangan.
Sementara itu, arkeolog senior Harry Truman Simanjuntak memilih mundur dari tim penulisan sejarah karena menganggap prosesnya tidak sesuai kaidah ilmiah. Ia mempertanyakan penggunaan istilah “sejarah resmi” yang dinilai bertentangan dengan semangat objektivitas akademik. “Sejarah seharusnya lahir dari data dan perdebatan ilmiah, bukan ditentukan oleh pemerintah,” katanya.
Senada dengan Truman, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menilai proyek ini sebagai upaya manipulatif. Menurutnya, revisi sejarah berpotensi menyingkirkan fakta-fakta yang tidak menguntungkan bagi kekuasaan. “Ini berbahaya karena bisa menumpulkan daya kritis generasi muda dan mengaburkan tragedi kemanusiaan di masa lalu,” ujar Usman.
Ia menyebut proyek tersebut sebagai bentuk penyeragaman narasi yang mengarah pada otoritarianisme dalam pengelolaan sejarah. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang ia wakili, mendesak agar proyek ini dihentikan sebelum menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan akademik di Indonesia.



