Suara Bersama

Greenpeace Soroti Dampak Tambang Nikel Terhadap Ekowisata dan Ekosistem Raja Ampat

JakartaGreenpeace kembali menyuarakan kekhawatiran atas ekspansi industri pertambangan nikel di Papua, khususnya di kawasan Raja Ampat, yang dinilai membahayakan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sektor ekowisata masyarakat setempat.

Dalam gelaran Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025 yang berlangsung di Jakarta, Selasa (3/6), Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel berpotensi mengancam keberagaman hayati laut dan darat Raja Ampat—mulai dari spesies laut langka seperti pari manta (Mobula birostris), hingga satwa endemik daratan seperti cenderawasih botak (Cicinnurus respublica).

“Di Selat Dampier, tempat arus laut sangat kuat, merupakan habitat alami pari manta. Kehadiran kapal tongkang pembawa nikel di wilayah ini berisiko besar terhadap kelangsungan hidup spesies tersebut,” ujar Kiki.

Ia menambahkan, cenderawasih botak yang hanya ditemukan di Raja Ampat menjadi daya tarik utama bagi para pengamat burung mancanegara, dan kehadirannya menjadi sumber penghidupan bagi warga lokal melalui ekowisata. “Burung ini sering terlihat di sekitar rumah warga. Kehilangannya bukan hanya kerugian ekologis, tapi juga ekonomi,” jelasnya.

Sektor ekowisata sendiri menyumbang sekitar 15 persen dari PAD Kabupaten Raja Ampat—setara dengan Rp 7 miliar pada 2020—dari retribusi penginapan, pajak kapal wisata, dan kartu kunjungan wisatawan.

Namun, di tengah geliat ekowisata, aktivitas pertambangan justru berlangsung di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran—tiga pulau kecil yang sejatinya dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Data Greenpeace menyebut lebih dari 500 hektare hutan alami di pulau-pulau tersebut telah dibuka untuk tambang.

Dampak negatif juga merembet ke terumbu karang Raja Ampat, yang menyimpan 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 1.400 jenis ikan. Gangguan lalu lintas tongkang dinilai menjadi ancaman serius bagi ekosistem bawah laut ini.

Menanggapi hal ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan akan mengevaluasi keberadaan tambang-tambang nikel di wilayah tersebut. “Saya akan panggil semua pemegang izin, baik BUMN maupun swasta,” tegasnya saat ditemui di JCC Senayan.

Bahlil juga menyebut adanya usulan pembangunan smelter di Raja Ampat, namun menekankan bahwa perlu dilakukan kajian AMDAL terlebih dahulu, mengingat status otonomi khusus Papua yang memerlukan pendekatan berbeda.

Konferensi Indonesia Critical Minerals 2025 sendiri merupakan forum tahunan yang memfokuskan pada strategi Indonesia dalam rantai pasok global mineral penting seperti nikel, kobalt, dan timah, serta menjadi wadah diskusi berbagai pemangku kepentingan industri ekstraktif di kawasan ASEAN.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 + ten =