Jakarta, Suarabersama.com – Konflik dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, kembali memanas. Gelombang baru tarif impor yang saling dilontarkan menjadi sinyal kuat dimulainya babak baru perang dagang jilid II.
Pada Jumat (12/4), Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan drastis dengan menaikkan tarif untuk seluruh produk asal China menjadi 145 persen. Kenaikan ini melampaui pengumuman sehari sebelumnya yang menetapkan tarif sebesar 125 persen.
Tak tinggal diam, Presiden China Xi Jinping segera merespons dengan langkah serupa. Ia menetapkan tarif impor terhadap seluruh produk asal Amerika Serikat sebesar 125 persen. Xi juga menegaskan sikap negaranya yang tak gentar menghadapi tekanan tarif dari pihak Washington.
Langkah-langkah agresif ini dikhawatirkan akan mengguncang pasar global dan memperburuk ketegangan geopolitik yang sudah berlangsung cukup lama antara kedua negara.
Presiden Xi Jinping menegaskan posisi tegas China dalam menghadapi tekanan dari luar, terutama dari Amerika Serikat. Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, di Beijing, Xi menyampaikan bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan ekonomi yang tidak masuk akal.
“Selama lebih dari 70 tahun, China selalu mengandalkan kemandirian dan kerja keras, tidak pernah mengandalkan pemberian siapa pun, apalagi takut akan penindasan yang tak masuk akal,” ujar Xi.
Ketegangan dagang antara Washington dan Beijing sejatinya bukan hal baru. Permusuhan tarif bermula sejak periode pertama kepemimpinan Donald Trump, saat ia menetapkan tarif 10 persen terhadap berbagai produk asal China. Namun, kebijakan tersebut belum sepenuhnya diterapkan saat tampuk kepresidenan beralih ke Joe Biden, yang kemudian mengambil pendekatan berbeda.
Kini, dengan Trump kembali berada di kursi kekuasaan, perang tarif kembali mengemuka—kali ini dalam skala yang jauh lebih besar dan dampaknya yang makin terasa di pasar global.
Setelah kembali menjabat pada 20 Januari 2025, Presiden Donald Trump segera melanjutkan kebijakan perang dagang yang sempat terhenti. Pada tahap awal, kebijakan tarif dikenakan kepada tiga negara: Kanada, Meksiko, dan China.
Namun, pada 9 April 2025, Trump memperluas jangkauan tarif resiprokal kepada 57 negara, termasuk Indonesia yang terkena tarif sebesar 32 persen. Namun, kebijakan ini hanya berlaku beberapa jam sebelum akhirnya Trump mengumumkan penundaan implementasi tarif untuk 56 negara tersebut selama 90 hari. Satu-satunya negara yang tetap dikenakan tarif adalah China.
Kondisi ini menyebabkan ketegangan dagang semakin membesar. Tarif untuk produk China yang sebelumnya sebesar 104 persen dinaikkan lagi sebesar 21 persen, sehingga total tarif menjadi 125 persen. Beijing pun merespons dengan langkah serupa, menaikkan tarif produk-produk AS menjadi 84 persen.
Setelah China merespons dengan kenaikan tarif pada produk asal Amerika, Amerika Serikat kembali meningkatkan tarif untuk produk China menjadi 145 persen. Ini merupakan kenaikan signifikan dari tarif sebelumnya yang telah diumumkan pada 9 April 2025, sebesar 125 persen.
Pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Gedung Putih pada Kamis (10/4) mengungkapkan bahwa tarif 125 persen yang diumumkan sebelumnya tidak termasuk dalam tarif 20 persen yang sudah diterapkan sebelumnya pada barang-barang China.
Tidak tinggal diam, Beijing kembali memberikan balasan dengan menaikkan tarif impor produk AS dari 84 persen menjadi 125 persen. Meski demikian, melalui pengumuman yang dikeluarkan oleh Dewan Tarif China, Beijing menegaskan bahwa mereka tidak akan lagi menaikkan tarif barang-barang asal Amerika lebih tinggi dari 125 persen, menyiratkan bahwa mereka memilih untuk tidak memperburuk ketegangan lebih lanjut melalui eskalasi tarif yang lebih tinggi.



